27 Januari 2009

Ngeban

By : Muhammad R. Abdi

Waktu saya masih ingusan, Ini permainan paling kondang di kampung saya di Malang. Beberapa bocah, biasanya 3-5, berbaris bak pembalap di garis start. Lantas, ketika aba-aba dibunyikan semua berlari sembari menyorong ban dengan alat khusus. Masing-masing berusaha saling mendahului laiknya balap sungguhan. Rutenya keliling kampung, jalurnya bebas asalkan bisa sampai garis finish di lapangan kampung yang biasa kami sebut lambau. Kami menyebut permainan ini nge-ban.

Sebenarnya penyebutan ini asal saja. Boleh jadi karena memakai ban maka disebut nge-ban. Ada dua instrumen utama dalam permainan ini. Pertama, ban, biasanya ban bekas sepeda. Kedua, tongkat pengatur yang kami sebut cutik. Tongkat ini terbuat dari bekas gagang sapu, atau bisa juga dari pilahan bambu. Salah satu ujung tongkat dipasang penyorong yang terbuat dari potongan wadah sabun colek. Cara memainkan permainan ini sederhana, mula-mula ban disorong dengan tangan. Sebelum ban berhenti berputar, disorong dengan cutik. Begitu seterusnya sampai garis finish. Untuk mengerem, tinggal membalik muka cutik ke arah dalam (berlawanan denga arah putaran ban).Cutik juga berguna untuk mengendalikan arah dan laju ban.

Jikalau ingin ikut perlombaan, teknik dasar saja tak cukup. Di tingkat mahir, sang pengeban (sebut saja begitu) mampu melakukan teknik-teknik mutakhir seperti ngawang (mengangkat ban sampai melayang sembari tetap berputar, biasanya teknik ini untuk menghindari halangan tanpa harus mengubah jalur), nggenjot (menambah laju ban dengan sangat cepat tanpa harus kehilanga kendali), dan beberapa teknik yang belum diberi nama. Bahkan di tingkatan para juara, sebenarnya ini cuma rumor dan omongan bocah yang ingin terlihat keren, kualitas ban, bentuk tongkat, kemiringan antara ban dan cutik menjadi penentu kecepatan laju. Namun, menurut Mamek, teman saya yang sering juara, kemenangan ditentukan kepandaian pengeban mencari jalur termudah ke garis finish. Sayang, saya sering jadi pecundang kalau ngeban. Maklum, saya kerepotan mengatur laju ban sembari mengelap ingus yang tak henti keluar.

Artinya, modal suthang panjang saja tidak cukup. Perlu ketrampilan memainkan cutik agar tidak lepas dari ban. Justru anak-anak yang tidak setinggi saya malah bisa mengalahkan saya dalam ngeban.

25 Januari 2009

Meriam Karbit

By : Fajar Kelana

Malam lebaran merupakan malam yang paling meriah di kota saya, Pontianak, Kalimantan Barat. Pada malam takbiran itu, selalu diadakan acara membunyikan meriam dari kayu. Banyak sekali meriam kayu yang dihadapkan ke sungai Kapuas yang lebarnya 100 meteran. Tiap kampung rata-rata memasang 5 sampai 8 meriam. Kampung disekitar keraton yang rata-rata berisi orang arab melayu selalu membuat meriam yang paling besar dan banyak. Di kampung Beting ini, paling banyak dikunjungi anak-anak dari kampung disekitarnya.

Kayu sepanjang 5 sampai 8 meter dengan berdiameter 30 sampai 60 cm ini dilubangi, dililit dengan rotan agar tidak pecah, dibawah dikasih pembuangan air dan diatasnya dikasih lubang memasukkan karbit. Karbit dimasukkan, diberi air dan ditutup seluruh lubangnya dan tunggu 5 - 8 menit, agar menghasilkan uap gas yang mudah terbakar. Lubang dibuka meriam siap dinyalakan. Sehabis berbunyi duar......Air dikeluarkan dari bawah meriam dan disumpal lagi dengan sandal bekas.

Membunyikannya bergantian dengan meriam seberang sungai. Kodenya pakai lampu. Kalau lampu listrik sudah dimatikan berarti sudah mau dibunyikan. Lampu obornya kemudian diayun-ayunkan, siaplah dimainkan. Suaranya bersahut-sahutan sampai kedengaran keseluruh kota.

Meriam ini dibunyikan sepanjang malam bahkan sampai pagi. Pemainnya tua dan muda pada bergabung. Cowoklah yang boleh main, sedang ceweknya hanya menonton sambil menutup telinga. Saat sholat Ied pun kadang masih kedengaran suara Jedar-jedor. Meriam dari kayu ini setelah tidak dipakai direndam disungai dan digunakan untuk tahun depan. Kadang masih bisa digunakan lagi untuk tiga tahun lagi, kalau terbuat dari kayu yang sudah tua.


Ceritanya dulu pertama kali dibuat oleh Kasultanan Pontianak, Kadriyah. Digunakan untuk menakut-nakuti kapal Belanda yang mau merapat disana. Suaranya yang sangat keras mirip dengan suara meriam beneran. Ternyata Belanda tidak mudah ditakut-takuti, malah kembali lagi membawa pasukan yang lebih banyak.

Dari dulu saat saya kecil sampai sekarang sudah segede ini, acara membunyikan meriam karbit ini tetap diadakan, malah sekarang digunakan untuk menarik wisatawan datang.

24 Januari 2009

Othok-Othok Monyet

By : Much. Fatchurochman

Dahulu saya pingin sekali punya othok-othok monyet. Setiap keinginan ini saya ungkapkan kepada orangtua, mereka selalu menolaknya. Mereka bilang bahwa dolanan jenis ini dapat menimbulkan suara berisik dirumah. Memang, suaranya sangat keras, thok... thok.....thok...... ketika rodanya mulai dijalankan. Apalagi saat itu termasuk jenis dolanan yang tidak murah.

Baru ketika orangtua saya mengajak saya jalan-jalan di Alun-Alun Blitar yang memang tidak jauh dari rumah saya, keinginan saya tersebut akhirnya terkabul. Sebuah othok-othok monyet berhasil saya miliki. Bila sore telah tiba, saya bergabung dengan teman-teman yang lain bermain othok-othok di jalanan desa. Kadang kami melakukan perlombaan kecepatan. Yang larinya cepat dengan othok-othoknya maka dialah pemenangnya. Gagah rasanya jika menang. Tidur jadi nyenyak dan makan jadi lahap.

Sebenarnya othok-othok ini merupakan dolanan yang sederhana tetapi sampai sekarang saya tetap tidak bisa membuatnya. Bahan utama untuk membuat othok-othok ini hanya pelat logam dan lempengan kayu. Pelat logam yang menegang akan memukul lempengan kayu sehingga menimbulkan suara, thok...thok...thok... Putaran roda akan selalu menarik pelat logam ini sehingga suara terus berbunyi. Yang susah membuatnya adalah bentuk monyetnya yang terbuat dari kayu. Ditengah badan monyet dilubangi untuk memasukkan kawat penyangga kepalanya dan supaya bisa bergerak mengikuti putaran roda.

Asyik sekali gerakan ketheknya, bila roda berputar maka kepala monyet akan menengok kekiri-kekanan dan kakinya seakan mengayuh sepeda. Geli rasanya kalau mengingat monyet saya tadi. Beh, luecu tenan....

Pada tahun 2004, ketika saya sedang melintas di salah satu gang kampung di kota saya. Mata saya tertuju pada seorang pedagang mainan yang ternyata dia menjajakan othok-othok monyet. Kenangan akan masa kecil, berlarian bersama teman-teman SD sambil membunyikan othok-othok monyet kembali membayang. Kubeli sebuah. Sampai dirumah seisi rumah pada ribut, kakakku menuduh, "Kamu itu kaya anak kecil aja. Beli mainan seperti itu. Beli aja dot bayi sekalian"

Sekarang dolanan koleksi saya itu aku berikan ke teman di Jogja yang memang hobi mengoleksi permainan anak tradisional. Semoga temanku tadi bisa merawat othok-othok monyet, yang dapat mengingatkan akan kenangan indah masa kanak-kanak saya di Blitar.

22 Januari 2009

Benteng-Bentengan

By : Dhenok Pratiwi

Berbagai dolanan atau permainan yang ada di daerahku ternyata juga saya temui di Jawa ini. Daerahku di Prapatan, Balikpapan, Kalimantan Selatan itu termasuk daerah pemukiman lama tetapi penghuninya berasal dari berbagai etnis, semisal Bugis, Banjar, Jawa, Cina, dan Madura. Ayah saya Jogja dan ibu saya dari Kediri. Karena saya lahir disana, maka ketika ada yang bertanya tentang asal akan saya jawab kalau saya berasal dari Balikpapan.

Permainan yang saya sukai yaitu permainan Benteng. Dalam permainan ini seluruh anggota dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing punya benteng. Bisa pohon bisa tiang listrik. Jarak antar benteng sekitar 10 meter.

Setiap kelompok harus mempertahankan bentengnya masing-masing. Selain menyerang benteng lawan kita juga dapat menawan anggota lawan. Bila personal kita dapat bisa memegang kelompok lawan yang berkeliaran, dia jadi tawanan kita. Dan, dia kita tempelkan di pohon tempat benteng kita dan tidak boleh pergi kemana-mana. Semakin banyak lawan yang dapat kita tawan maka semakin besar peluang kita untuk menang.

Untuk membebaskannya, kelompok lawan harus berani mendatangi kubu kita dan menyentuhnya tanpa tersentuh oleh kita. Demikian juga untuk membebaskan kawan kita yang tertawan oleh lawan. Kita tidak boleh tersentuh oleh lawan. Kalau tersentuh oleh lawan kita akan juga jadi tawanannya. Strateginya yaitu dengan cara mengecoh lawan agar menjauh dari bentengnya. Biarlah salah seorang kawan kita dikejarnya dan ketika lawan mulai teledor maka kita datangi teman kita itu untuk diselamatkan.

Titik kemenangan terletak jika kita dapat menyentuh benteng lawan. Dan, ini tidak mudah karena bentengnya selalu dijaga oleh anggotanya. Keasyikan permainan ini terletak kemampuan mempertahankan benteng kita, juga strategi untuk menyerang benteng lawan. Jadi main strategi gitu lho..

21 Januari 2009

Pitik Jengkol

By : Ahmad Musthofa Haroen

Wah, kalau harus mengingat masa kecil dulu, di Ngadirejo Temanggung sana. Saya sangat ingat dengan "Pitik Jengkol". Dolanan ini sangat sederhana. Jadi sangat mungkin ada di daerah lain dengan nama berbeda. Nggak tahu dari mana frasa nama dolanan ini berasal. Kok bisa-bisanya dinamai sesedap itu. Pitik itu ayam, Jengkol itu ya jengkol. Kalau ayam petok-petok, maka jengkol semrebel. Yang pertama bersuara, sedang yang kedua menghamburkan aroma. Barangkali itulah alasan penamaannya.

Begini lah permainannya, siapkan uba-rampenya, antara lain: lima atau lebih orang yang masih bernyawa dan sehat lahir batin (saya akui permainan ini tidak ramah pada kaum difabel dan rada-rada bias gender), seikat penutup mata (usahakan yang lebar), dan sepetak halaman atau ubin yang ditandai batas-luasnya dengan ukuran yang ditentukan berdasarkan konsensus bersama. Ingat, yang paling dijunjung tinggi dalam dolanan ini adalah kemampuan mendengus, mendengar, dan meraba.

Maka, dengan hukum hompipah, ditentukan dulu siapa yang, dalam istilah kami, "masang". Si masang inilah yang matanya diikat paksa dengan kain. Praktis, kini tinggal hidung, kulit dan telinganya saja yang bekerja--selain kaki tentu saja. Sisa orang yang masih lengkap panca inderanya, begitu...tiiit....langung jumpalitan ngalor ngidul, ngetan ngulon, menghindari si masang yang dengan radar nalurinya harus bisa mengejar satu saja mangsa. Nah, begitu cek...kecekel...masang dapat mangsa....masang harus cengkeram kuat-kuat si mangsa biar nggak kabur (baju sobek biasa, bagian dari sensasi permainan ini). Kalau mangsa sudah benar-benar tak berdaya, sambil berdoa, dia mesti sebisa mungkin menahan kegiatan ketubuhan seperti bernafas, bersuara, sampai kentut. Soalnya masang akan segera menerka, tentu dengan cara merabai dan mengendusi, si mangsa ini sebenarnya siapa. Celaka kalau sampai bau kentut saja dihafal, bakal konangan. Pokoknya persis ketemu vampir...Kehidupan, demi alasan apapun, tidak bisa tidak, untuk sejenak harus ditunda...biar identitas tak terterka.....

Kalau sampai sepuluh detik, masang nggak bisa menerka nama si mangsa atau sekali saja mengalami salah terka, loloslah mangsa. Jumpalitan lah lagi dia. Kalau sukses menerka nama, mangsa jadi masang yang baru..begitu seterusnya...

Saya jadi ingat dulu, kami memainkannya di pelataran musala. Singkat cerita, empat mangsa bersepakat untuk berkonspirasi. Begitu si masang buta, kami berempat secara perlahan dan piawai kabur sampai jarak sembunyi 20 meter. Selang sebentar, ta'mir musala datang, hendak menyapu pelataran yang sudah diguguri dedaunan itu. Celaka, si masang mendekat, mendekat, dan semakin mendekati Pak Ta'mir. Anehnya, Pak Ta'mir pasrah diam saja. Maka begitu jarak tinggal setengah meter, si masang melompat mantap dan menyergap pak Ta'mir yang kebetulan posturnya mungil itu. Keduanya ambruk seketika. Si masang mulai mendengus dan meraba. Ternyata wangi...identifikasi pertama gagal....lalu diraba hingga ke muka...kok ada kumisnya...si masang menggeragap. Kontan ia buka penutup mata...dan dalam sepersekian detik saja, gantian pak ta'mir yang mengejarnya seperti hewan buruan sambil gagang sapu siap ditimpukkan...kami terpingkal-pingkal

Kandungan moral permainan ini sungguh menggetarkan saya, terutama saat ini, ketika saya mulai merindukannya kembali


20 Januari 2009

Ketek Menek

By : Eka Yulianti Wijaya

Permainan ini dinamakan Ketek Menek karena dalam permainan yang merupakan permainan kejar-kejaran ini, pihak yang dikejar dapat naik atau menek di pohon atau tempat yang lebih tinggi seperti seekor ketek yang sedang manjat pohon.

Ketek Menek ini dimainkan oleh banyak anak. Semakin banyak anak akan lebih seru. Setelah semua anak berkumpul lalu dinyanyikan sebuah lagu untuk menentukan siapa yang harus jadi pengejar yang harus mengejar teman-teman lainnya.

"Bintang mas siapa yang keluar ?. Wa dawa, sing dawa dadi....." Yang kebagian kata "dadi", maka dia yang jadi harus mengejar teman-temannya sampai ketangkap untuk menggantikannya jadi pengejar. Kalau mau ketangkap maka yang dikejar bisa naik pohon atau naik diketinggian semisal trotoar yang lebih tinggi atau boleh juga yang membawa batu untuk kemudian dinaikinya sehingga posisinya lebih tinggi dari pengejarnya. Kalau yang dikejar sudah naik pohon dia sudah punya kekebalan sehingga tidak boleh ditunggu dibawah pohon. Pengejar harus mencari teman lainnya yang tidak naik pohon. Tidak boleh berlama-lama ada di atas pohon dan harus segera turun ketika pengejarnya sudah pergi.

Kami biasa main kejar-kejaran ini waktu sore hari bersama anak-anak sekampung. Di kampung kami di Jagalan, Kasin, Klojen, Malang, jenis permainan ini dahulu saat saya SD sangat digemari. Dalam permainan Ketek Menek ini pesertanya campuran ada anak laki-laki dan perempuan dan tidak membedakan tingkat usia. Semua boleh ikut bermain. Kalau saat bermain ada yang mau ikut, maka yang menyusul ini langsung jadi pengejar menggantikan pengejar sebelumnya.

Menariknya, bahwa pohon yang sudah kita panjat, tidak boleh kita panjat lagi untuk kedua kalinya. Harus mencari pohon atau tempat lain untuk dipanjat. Jadi, semakin lama semakin sedikit tempat yang bisa dipanjat. Atau, tempat yang akan kita panjat sudah ada yang memanjat. Kadang terjadi rebutan agar dapat memanjat pohon yang belum kita panjat.

Hanya bila kami sudah lelah atau sudah petang saja maka permainan ini diakhiri. Jadi, tidak ada batasan waktu. Kapanpun bisa diakhiri bila sudah ada kesepakatan bersama. Begitulah ceritaku waktu kecil, suka mengejar.......

Jaran Goyang

By : Ahmad Baiquni

Mengingat masa kecil saya, banyak sekali hal yang menarik dan saya alami. Semua tersirat dalam memori otak kecil saya. Dan, terbingkai dengan indah, menjadi kenangan luar biasa dalam hidup saya.

Saya ingat, masa kecil saya di Branggahan, Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur. Ada sebuah permainan yang hingga saat ini tidak bisa saya mainkan. Permainan tersebut sangat sepele. Mainan itu disebut Jaran Goyang. Eits.... Jangan berpikir tentang kuda jika mendengar kata "jaran". Sebab tidak ada unsur kuda sama sekali.

Jaran goyang adalah mainan yang terbuat dari batang bunga tebu. Jika dilihat bentuknya mungkin mainan ini sangat tidak bagus. Bagaimana tidak ? Mainan ini berbentuk dua batang bunga tebu yang diikat dengan benang jahit.


Cara membuatnya sangat mudah. Ambil batang bunga tebu sesuai kebutuhan. Potong menjadi dua buah dengan ukuran yang sama. kira-kira 30 cm. Kemudian ambil benang dan ikatkan disalah satu batang tersebut. Tepatnya satu ujung dari batang tersebut. Setelah itu, Jaran Goyang siap dimainkan.

Memainkannya dengan cara menggulung batang yang tidak diikat benang, dari ujung ke ujung. Lantas, lemparkan batang itu ke udara. Dan, tarik batang yang ujungnya terikat benang. seketika itu batang yang terlempar akan menari-nari di udara selama beberapa detik. Gerak tarian dari bunga tebu itulah yang dinamakan Jaran Goyang.

Sangat menyenangkan bermain dengan Jaran Goyang ini. Sangat mudah membuatnya tak perlu mengeluarkan uang banyak. Namun, hingga saat ini, mungkin saya tidak bisa memainkan mainan ini sebab dibutuhkan kesabaran hingga batang bunga tebu tersebut bisa benar-benar bergoyang. Caranya ya, hanya dengan terus mencoba dan mencoba.

Ongkol Biji Asam

By : Putro Agus Harnowo

Di dekat kampung saya di Gresik sana emang banyak pohon asam. Biji asam ini menjadi bahan permainan yang cukup menarik bagi kami disana. Biji asam yang sudah kita dapat kita rekatkan di lempengan keramik.

Cara merekatkannya cukup unik. Biji asem kita lumuri dengan getah pohon. Yang bagus biasanya getah pohon sawo. Bisa juga getah pohon angsana, mangga, jarak, dan terkadang pakai lem Castol. Kalau pakai lem castol kadang dianggap tidak fair. Dianggap berlaku curang.

Biji asam yang sudah direkatkan di lempengan keramik di taruh dibawah kaki kursi dan diduduki agar biji asam dapat menempel lebih kuat. Kadang sampai beberapa hari sampai biji asam tersebut siap untuk diadu.

Saatnya saya mencari tantangan. Biji asam saya tersebut lalu diadu dengan milik teman dengan cara digesek-gesekkan antar biji asam. Biji asam yang terlepas dinyatakan kalah. Yang kalah akan merasa kecewa karena usahanya beberapa hari menempelkan biji asam ke lempeng keramik ternyata kurang berhasil dan gampang lepas. Jenis perekat tiap anak biasanya sengaja dirahasiakan agar tidak bisa disaingi oleh temannya. Jadi tiap anak punya formula bahan perekat dari pohon yang berbeda.

Senapan Klorak


By : Putro Agus Harnowo

Saya kecilnya di Sidokumpul, Gresik, Jawa Timur. Waktu saya disana saya paling suka membuat Bedil-Bedilan yang terbuat dari kayu. Dibentuk seperti senapan, dibagian ujungnya dipasangi karet pentil sepeda. Di bagian pangkalnya dipasangi penjepit terbuat dari kayu. Pelurunya dari buah tanaman klorak.

Tangkai buah klorak dijepit di pangkal senapan, sehingga buahnya menonjol dan karet pendek ini ditarik dan dikaitkan ke bonggolnya. Jadi kalau kita ingin menembak orang maka cukup tekan pelatuk atau penjepitnya maka terlontar buah klorak itu dari senapan kayu ini.

Kita akan bagi teman kita ke dalam dua kelompok. Tiap anak dipastikan memiliki senapan kayu ini mereka akan bergambung secara acak. Tiap permainan terkadang bisa berganti-ganti teman.

Dalam permainan ini tidak ada kalah dan menang. Hanya Have Fun. Dan kadang kita tidak tega menembak teman sendiri. Paling hanya kemerah-merahan apabila mengenai kulit kita. Justru yang nangis kena tembak akan dicemooh teman-temannya, "Gembeng....Gembeng...ngono wae nangis." Cengeng..Cengeng gitu aja menangis.

Kesenangannya terletak pada saat membuat senapan dan mencari buah klorak. Klorak ini tumbuh di daerah berawa-rawa dan mencarinya secara bersama-sama. Jadi kita menjelajahi kampung-kampung tetangga yang berair. Tak jarang setelah pencarian buah klorak ini beberapa teman sakit Demam Berdarah karena digigit nyamuk.

19 Januari 2009

Gamparan

By : Kelik Supriyanto

Rumah saya hanya sekitar 1 km dari sungai Gendol. Saat saya kecil sungai tersebut sering ladu yaitu banjir berupa campuran pasir dan lumpur. Suaranya sangat mengerikan dan dijadikan tontonan masyarakat disepanjang sungai ini. Bila sungai Gendol meluap atau berbelok aliran laharnya dan masuk ke permukiman penduduk maka akan dibunyikan kentongan titir, berbunyi bertalu-talu tanpa henti. Memberitahukan penduduk disekitar sungai tersebut untuk segera menyingkir. Setelah dibangunnya Dam disepanjang hulu sungai Gendol, banjir besar sudah tidak sampai ke daerah saya yang berjarak 15 km dari puncak Merapi. Sungai Gendol telah menjadi bagian dan nafas dalam kehidupan masyarakat saya. Dari sanalah masyarakat mengambil pasir dan batu untuk dijual atau untuk digunakan membangun rumah sendiri.

Sehabis sekolah di SD saya bersama teman-teman biasanya langsung menuju sungai Gendol untuk mencari batu pilihan. Batu yang bentuknya pipih seperti batu-bata dan berpori-pori halus. Watu Item atau batu hitam biasa kami menyebutnya. Batu jenis ini mempunyai kekerasan yang lebih baik dan permukaannya licin sehingga enak membawanya. Batu ini merupakan syarat mutlak untuk bisa ikut permainan Gamparan yang biasa dimainkan pada sore hari menjelang magrib.

Dasar dari dolanan Gamparan ini dengan mengadu batu dengan batu. Batu lawan diletakkan berdiri dalam jarak sekitar 10 meter, terus kita hantam dengan batu milik kita. Batu kita letakkan di kaki. Ambil ancang-ancang sambil ayunkan batu yang ada di kaki. Teman-teman kita juga menghantam batu yang pas ada di pihak yang dipasang. Bila batu yang terhantam patah maka dia harus keluar dari permainan. Jika batu yang milik kita untuk menghantam juga pecah maka juga dianggap sudah kalah dan harus keluar dari arena. Hanya batu yang tetap utuh dan tidak terbelah saja yang boleh bertahan dalam permainan ini.

Pada akhirnya hanya ada dua batu yang difinalkan. Batu yang tidak patahlah yang akan jadi pemenang. Kalau dua-duanya patah maka tidak ada pemenang dalam permainan ini. Intinya hanya batu yang keras dan kita hantamkan dengan kuat saja yang akan jadi pemenang.

Orang hidup itu memang harus mempunyai keteguhan sekeras batu dalam permainan saya tadi. Hanya yang punya keinginan dan niat yang kuat saja yang akan dapat survive dalam menghadapi kehidupan ini. Dan benturan-demi benturan suka atau tidak suka pasti akan kita temui. Hanya yang sekeras batu hitamlah yang tidak akan terhanyut oleh aliran air kehidupan. Dan, tentunya tidak mudah tergerus oleh gesekan-gesekan yang menimpanya.

Itulah barangkali hikmah yang dapat diambil dari dolanan waktu kecil saya tadi. (sok filosofis. Hee...He...)