By Kelik Supriyanto
Dolanan Jadul magazine adalah sebuah situs budaya masa lalu yang muncul tersingkap oleh kesadaran akan pentingnya mengabadikan puing-puing kebudayaan yang mulai terkubur oleh waktu. Serpihan-serpihan ingatan tersebut kami kumpulkan, diracik dalam adonan kata-kata dan disajikan dalam bentuk eMagazine agar enak dinikmati. Dijamin akan menyegarkan kembali dahaga ingatan akan lupa masa lalu anda.
Dolanan berasal dari kata dolan yang berarti pergi bermain. Dolanan mencakup permainan (game) dan mainan (toy).
Dalam dunia anak, bermain adalah sebuah kebutuhan. setiap anak mempunyai permainan maupun mainan yang disukainya. Jenis permainan ini akan dikenang dan tidak mudah dilupakan. Masa kanak-kanak akan menjadi kenangan yang tidak mudah terlupakan.
Mengenang masa lalu rasanya terasa indah. Kembali ke alam beberapa puluh tahun yang lalu. Kenangan akan terasa indah bila dapat diceritakan dan tentunya dituliskan. Orang lain juga perlu merasakan indahnya masa lalu dengan berbagai permainan yang sekarang hanya tinggal cerita.
Masa lalu tidak untuk direnungi apalagi diratapi, masa lalu hendaknya dijadikan cermin. Yang baik boleh kita kenang dan diajarkan dan yang buruk hendaknya bisa kita lupakan. Hari esok lebih penting tanpa harus mengingat mimpi buruk masa lalu.
Dolanan Jadul Magazine hadir sebagai wadah bagi siapapun yang ingin dan mengingat masa kanak-kanak untuk dilitererkan agar bisa dibaca oleh seluruh umat manusia didunia. Dunia cyberspace telah melumerkan batas-batas wilayah negara maupun bangsa. Dunia baru hasil mahakarya abad 21.
Untuk edisi perdana ini terdapat berbagai pengalaman bermain dengan berbagai alat permainan yang ada disekitar kita.
Dari Temanggung ada dua permainan yang diceritakan yaitu Maling-Malingan dan Pitik Jengkol. Dari Klaten sebuah permainan Tekongan. Dari Malang ada dua permainan yaitu Kethek Menek dan Ngeban. Sedang dari Yogyakarta ada permainan Gamparan dan Gambar Umbul.
Sedang mainan yang ditampilkan ada Othok-Othok Monyet dari Blitar, Yoyo, Senapan Klorak dan Ongkol Biji Asam dari Gresik. Jaran Goyang dari Kediri dan lainnya.
Semoga edisi perdana ini cukup memberi sedikit gambaran akan dunia yang hilang berupa permainan anak tradisional.
Langsung Download disini.
28 Maret 2009
24 Maret 2009
Piceng
By Ayu Sartika Hiasyah
Piceng berasal dari bahasa Makasar yang berarti tutup botol. Cara bermainnya yaitu sediakan 5 atau 7 tutup botol. Setiap pemain bersama-sama menentukan poin final tertinggi, biasanya antara 20 sampai 35. Pemain minimal 2 orang. Lebih dari 2 orang dapat membentuk team. Urutan pemain dilakukan dengan pingsut.
Para pemain mengambil posisi melingkar dan menyisakan space di tengah untuk arena piceng. Pemain pertama berhak untuk menyebar piceng di tengah arena. Piceng yang sudah tersebar tidak boleh dirubah posisinya. Satu piceng diambil dari arena. Satu piceng membidik satu piceng yang lain sehingga saling berbenturan, minimal saling sentuh. Kedua piceng yang saling berbenturan disentil agar keluar dari arena. Hal yang sama dilakukan terhadap piceng yang tersisa.
Jika piceng yang disentil tidak bersentuhan dengan piceng yang lain maka dianggap gagal dan tiba giliran pemain berikutnya. Dengan sebelumnya pemain lawan berhak untuk menentukan piceng mana yang akan dibidik dan piceng untuk membidiknya.
Jika seluruh piceng dapat diselesaikan, seluruh piceng dikumpulkan dan dilempar ke atas dan ditangkap dengan posisi tangan menelungkup. Ditangkap dengan punggung telapak tangan. Setiap piceng yang tertangkap di punggung telapak tangan bernilai 1 poin. Sampai mendapat poin yang telah disepakati.
Pemain yang memperoleh poin tertinggi paling awal, kemudian memberikan utang kepada pemain yang lain dengan cara menyusun tiap piceng di lengan satu persatu dengan jarak sekitar 5 cm. Lengan lalu ditarik kebelakang sehingga semua piceng terkumpul di genggaman tangan. Piceng tersebut lalu dilempar ke udara dan ditangkap lagi dengan punggung telapak tangan. Piceng yang terkumpul di punggung telapak tangan akan mengurangi 1 poin semua lawannya.
Sebenarnya dahulu kala permainan ini menggunakan batu kerikil, akan tetapi seiring perkembangan jaman, batu kerikil mulai digantikan dengan tutup botol yang lebih pipih sehingga lebih mudah dimainkan. Teknik permainannyapun kemudian semakin berkembang. Diantaranya dengan teknik pantul. Menjadikan lengan sebagai medan pantul dalam membidik piceng sasaran. Juga teknik melompat dengan membuat piceng mampu melompat menuju sasaran.
Jika saat pertama menyebar piceng dan ternyata semua piceng menengadah keatas atau semua piceng dalam posisi tertelungkup kebawah semua, maka pemain dapat hak istimewa dengan langsung mengambil poin, tanpa perlu membidik piceng.
Jika saat menyebar piceng 3 diantaranya berada dalam posisi menengadah keatas atau telungkup kebawah maka dapat hukuman dengan cara meletakkan 3 piceng sebagai penghalang di tengah yang berjarak sejengkal dari pembidik dan berjarak 4 jari ke arah sasaran.
Itulah permainan saya sewaktu nyantri di PP Putri Ummul Mukminin di Makasar, Sulawesi Selatan.
Piceng berasal dari bahasa Makasar yang berarti tutup botol. Cara bermainnya yaitu sediakan 5 atau 7 tutup botol. Setiap pemain bersama-sama menentukan poin final tertinggi, biasanya antara 20 sampai 35. Pemain minimal 2 orang. Lebih dari 2 orang dapat membentuk team. Urutan pemain dilakukan dengan pingsut.
Para pemain mengambil posisi melingkar dan menyisakan space di tengah untuk arena piceng. Pemain pertama berhak untuk menyebar piceng di tengah arena. Piceng yang sudah tersebar tidak boleh dirubah posisinya. Satu piceng diambil dari arena. Satu piceng membidik satu piceng yang lain sehingga saling berbenturan, minimal saling sentuh. Kedua piceng yang saling berbenturan disentil agar keluar dari arena. Hal yang sama dilakukan terhadap piceng yang tersisa.
Jika piceng yang disentil tidak bersentuhan dengan piceng yang lain maka dianggap gagal dan tiba giliran pemain berikutnya. Dengan sebelumnya pemain lawan berhak untuk menentukan piceng mana yang akan dibidik dan piceng untuk membidiknya.
Jika seluruh piceng dapat diselesaikan, seluruh piceng dikumpulkan dan dilempar ke atas dan ditangkap dengan posisi tangan menelungkup. Ditangkap dengan punggung telapak tangan. Setiap piceng yang tertangkap di punggung telapak tangan bernilai 1 poin. Sampai mendapat poin yang telah disepakati.
Pemain yang memperoleh poin tertinggi paling awal, kemudian memberikan utang kepada pemain yang lain dengan cara menyusun tiap piceng di lengan satu persatu dengan jarak sekitar 5 cm. Lengan lalu ditarik kebelakang sehingga semua piceng terkumpul di genggaman tangan. Piceng tersebut lalu dilempar ke udara dan ditangkap lagi dengan punggung telapak tangan. Piceng yang terkumpul di punggung telapak tangan akan mengurangi 1 poin semua lawannya.
Sebenarnya dahulu kala permainan ini menggunakan batu kerikil, akan tetapi seiring perkembangan jaman, batu kerikil mulai digantikan dengan tutup botol yang lebih pipih sehingga lebih mudah dimainkan. Teknik permainannyapun kemudian semakin berkembang. Diantaranya dengan teknik pantul. Menjadikan lengan sebagai medan pantul dalam membidik piceng sasaran. Juga teknik melompat dengan membuat piceng mampu melompat menuju sasaran.
Jika saat pertama menyebar piceng dan ternyata semua piceng menengadah keatas atau semua piceng dalam posisi tertelungkup kebawah semua, maka pemain dapat hak istimewa dengan langsung mengambil poin, tanpa perlu membidik piceng.
Jika saat menyebar piceng 3 diantaranya berada dalam posisi menengadah keatas atau telungkup kebawah maka dapat hukuman dengan cara meletakkan 3 piceng sebagai penghalang di tengah yang berjarak sejengkal dari pembidik dan berjarak 4 jari ke arah sasaran.
Itulah permainan saya sewaktu nyantri di PP Putri Ummul Mukminin di Makasar, Sulawesi Selatan.
17 Maret 2009
Gathengan
By Nella A.P.
Saya punya kakak sepupu dirumah yang biasa ngajak bermain sehabis sekolah. Kadang dia sangat menyebalkan karena sering mengajak bermain permainan untuk anak laki-laki semisal perang-perangan sehingga males bermain dengannya lagi. Akhirnya saya mencari tetangga saya yang juga suka bermain gatheng. Permainan biasanya hanya dimainkan oleh anak perempuan saja. Anak laki-laki hanya menonton saja. Permainan ini membutuhkan konsentrasi dan ketrampilan. Minimal pemainnya dua anak, semakin banyak pemainnya maka semakin lama menunggu giliran main.
Terlebih dahulu para pemain menentukan dan menyepakati jumlah batu kerikil berukuran sedang sekitar 1 cm yang akan dimainkan. Istilah ditempat saya yaitu batu yang "disakukan", batu yang dijadikan modal selama bermain. Batu yang dikumpulkan kemudian diperebutkan oleh para pemain. Untuk menentukan urutan pemain dilakukan undian dengan hompimpah.
Pertama-tama batu disebar. Pemain urutan pertama mengambil satu batu. Batu tersebut dilempar keatas. Meraup sebanyak-banyaknya batu, baru menangkap lagi batu yang dilempat tadi. Dalam meraup batu tidak boleh menyentuh batu yang lainnya. Bila ada yang tersentuh dianggap mati dan ganti pemain yang lain. Bila batu yang dilempar keatas tadi tidak bisa tertangkap tangan juga menyebabkan pemain mati. Atau, keburu menangkap batu yang jatuh tetapi tidak sempat meraup batu juga mati.
Pemain yang mendapatkan batu terbanyak dialah yang pemenangnya. Dan, banyaknya periode permainannya tergantung kesepakatan.Disini juga berlaku sistem hutang. Bagi pemain yang kalah dan kehabisan modal batu dapat hutang pada pemain yang menang dan punya banyak batu.
Pada saat menunggu giliran main ini terasa dag dig dug, berharap lawannya segera melakukan kesalahan, dan ketika kita main juga kadang grogi sehingga jadi sering melakukan kesalahan apalagi sering diganggu oleh pemain yang lain. Apalagi yang menonton banyak anak laki-lakinya mereka senang sekali bila dapat mengganggu yang menyebabkan pemain mati, mereka pada bersorak-sorak kegirangan.
Di rumah saya di Gerselo, Patalan, Jetis, Bantul Yogyakarta permainan ini banyak dimainkan oleh anak-anak karena batu kerikil mudah didapat dan aturan permainannya juga sederhana.
Saya punya kakak sepupu dirumah yang biasa ngajak bermain sehabis sekolah. Kadang dia sangat menyebalkan karena sering mengajak bermain permainan untuk anak laki-laki semisal perang-perangan sehingga males bermain dengannya lagi. Akhirnya saya mencari tetangga saya yang juga suka bermain gatheng. Permainan biasanya hanya dimainkan oleh anak perempuan saja. Anak laki-laki hanya menonton saja. Permainan ini membutuhkan konsentrasi dan ketrampilan. Minimal pemainnya dua anak, semakin banyak pemainnya maka semakin lama menunggu giliran main.
Terlebih dahulu para pemain menentukan dan menyepakati jumlah batu kerikil berukuran sedang sekitar 1 cm yang akan dimainkan. Istilah ditempat saya yaitu batu yang "disakukan", batu yang dijadikan modal selama bermain. Batu yang dikumpulkan kemudian diperebutkan oleh para pemain. Untuk menentukan urutan pemain dilakukan undian dengan hompimpah.
Pertama-tama batu disebar. Pemain urutan pertama mengambil satu batu. Batu tersebut dilempar keatas. Meraup sebanyak-banyaknya batu, baru menangkap lagi batu yang dilempat tadi. Dalam meraup batu tidak boleh menyentuh batu yang lainnya. Bila ada yang tersentuh dianggap mati dan ganti pemain yang lain. Bila batu yang dilempar keatas tadi tidak bisa tertangkap tangan juga menyebabkan pemain mati. Atau, keburu menangkap batu yang jatuh tetapi tidak sempat meraup batu juga mati.
Pemain yang mendapatkan batu terbanyak dialah yang pemenangnya. Dan, banyaknya periode permainannya tergantung kesepakatan.Disini juga berlaku sistem hutang. Bagi pemain yang kalah dan kehabisan modal batu dapat hutang pada pemain yang menang dan punya banyak batu.
Pada saat menunggu giliran main ini terasa dag dig dug, berharap lawannya segera melakukan kesalahan, dan ketika kita main juga kadang grogi sehingga jadi sering melakukan kesalahan apalagi sering diganggu oleh pemain yang lain. Apalagi yang menonton banyak anak laki-lakinya mereka senang sekali bila dapat mengganggu yang menyebabkan pemain mati, mereka pada bersorak-sorak kegirangan.
Di rumah saya di Gerselo, Patalan, Jetis, Bantul Yogyakarta permainan ini banyak dimainkan oleh anak-anak karena batu kerikil mudah didapat dan aturan permainannya juga sederhana.
Labels:
bantul yogyakarta,
batu kerikil,
dilempar keatas,
gathengan,
nella a.p.
14 Maret 2009
Memedi
By Kelik Supriyanto
Memedi berasal dari kata wedi yang berarti takut. Memedi adalah sesuatu yang medeni atau membuat takut. Menurut Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat Jawa, jenis memedi hanya menakut-nakuti orang saja dan tidak menyakiti, sedang yang bisa menyakiti orang dikategorikan sebagai lelembut.
Di Yogyakarta, ada pedagang mainan yang menjual angkrek dari kertas berupa bentuk memedi. Biasanya jenis mainan ini dibeli oleh anak laki-laki untuk menakuti anak perempuan. Jaman dulu mainan angkrek ini ada lidahnya yang menjulur keluar ketika benangnya ditarik-tarik. Jenis mainan ini sudah susah ditemukan.
Angkrek hantu yang dijual oleh mbah Gunarjo dari Minggiran Bantul ini berupa hantu banaspati, hantu othe-othe, dan hantu oncit-oncit. Berbagai jenis hantu yang sangat terkenal jaman dahulu yaitu wewe, genderuwo, dan tuyul. Digunakan untuk menakut-nakuti anak yang suka keluyuran waktu magrib.
Bagi yang tinggal di pedesaan, kalau waktu magrib masih juga bermain dihalaman maka orangtua kita akan bilang, "Cepat masuk rumah. Nanti digondol wewe." Wewe adalah sejenis hantu pohon berbentuk wanita dengan selendang di pundaknya. Sering terlihat sedang menggendong anak kecil. Hantu ini hobinya menculik anak kecil yang berkeliaran pada malam hari. Dia bisa menyamar menjadi ibu dari anak yang akan diculiknya.
Penduduk desa akan membunyikan kentongan keras-keras sambil membawa obor dan menjelajahi tempat-tempat yang wingit dan gelap seperti pohon besar di kuburan, pohon dekat sungai dan tempat-tempat ketinggian. Masyarakat pedesaan percaya bahwa bunyi ribut akan membuat wewe ketakutan dan pergi dengan melepaskan anak yang diculiknya. Dalam berbagai cerita yang beredar di masyarakat, anak tersebut akan diletakkan di atas pohon yang tinggi dan besar tempat wewe tersebut tinggal.
Anak yang diculik wewe selalu bilang kalau habis diajak oleh ibunya berjalan-jalan ketempat yang jauh yang tidak dikenalnya. Dan merasa sudah pulang dan tidur nyenyak dirumah sedangkan masih ada di atas cabang pohon.
Wewe mempunyai hobi lain yaitu mencuri celana dalam wanita dan baju bayi. Malah ada cerita ketika lewat di tempat yang ada wewenya, tiba-tiba celdam yang sedang dipakainya tiba-tiba lenyap.
Banaspati adalah hantu berbentuk kepala dengan rambut yang menyala bagaikan api. Dia berjalan dengan kedua tangannya yang muncul dari kepalanya. Dipercaya bahwa banaspati suka menghisap darah dari pembalut wanita yang dibuang sembarangan.Wanita yang dihisap bekas pembalutnya akan kesurupan. Hantu jenis ini tidak pernah minum darah dari makluk yang masih hidup. Tidak seperti vampire yang suka menggigit korbannya.
Semua jenis hantu ini tinggal di tempat gelap. Setelah listrik masuk desa dan lampu dipasang ditempat-tempat gelap, cerita hantu sudah jarang terdengar. Kemana para hantu itu pergi ? Sedang shooting film, Mas......
Memedi berasal dari kata wedi yang berarti takut. Memedi adalah sesuatu yang medeni atau membuat takut. Menurut Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat Jawa, jenis memedi hanya menakut-nakuti orang saja dan tidak menyakiti, sedang yang bisa menyakiti orang dikategorikan sebagai lelembut.
Di Yogyakarta, ada pedagang mainan yang menjual angkrek dari kertas berupa bentuk memedi. Biasanya jenis mainan ini dibeli oleh anak laki-laki untuk menakuti anak perempuan. Jaman dulu mainan angkrek ini ada lidahnya yang menjulur keluar ketika benangnya ditarik-tarik. Jenis mainan ini sudah susah ditemukan.
Angkrek hantu yang dijual oleh mbah Gunarjo dari Minggiran Bantul ini berupa hantu banaspati, hantu othe-othe, dan hantu oncit-oncit. Berbagai jenis hantu yang sangat terkenal jaman dahulu yaitu wewe, genderuwo, dan tuyul. Digunakan untuk menakut-nakuti anak yang suka keluyuran waktu magrib.
Bagi yang tinggal di pedesaan, kalau waktu magrib masih juga bermain dihalaman maka orangtua kita akan bilang, "Cepat masuk rumah. Nanti digondol wewe." Wewe adalah sejenis hantu pohon berbentuk wanita dengan selendang di pundaknya. Sering terlihat sedang menggendong anak kecil. Hantu ini hobinya menculik anak kecil yang berkeliaran pada malam hari. Dia bisa menyamar menjadi ibu dari anak yang akan diculiknya.
Penduduk desa akan membunyikan kentongan keras-keras sambil membawa obor dan menjelajahi tempat-tempat yang wingit dan gelap seperti pohon besar di kuburan, pohon dekat sungai dan tempat-tempat ketinggian. Masyarakat pedesaan percaya bahwa bunyi ribut akan membuat wewe ketakutan dan pergi dengan melepaskan anak yang diculiknya. Dalam berbagai cerita yang beredar di masyarakat, anak tersebut akan diletakkan di atas pohon yang tinggi dan besar tempat wewe tersebut tinggal.
Anak yang diculik wewe selalu bilang kalau habis diajak oleh ibunya berjalan-jalan ketempat yang jauh yang tidak dikenalnya. Dan merasa sudah pulang dan tidur nyenyak dirumah sedangkan masih ada di atas cabang pohon.
Wewe mempunyai hobi lain yaitu mencuri celana dalam wanita dan baju bayi. Malah ada cerita ketika lewat di tempat yang ada wewenya, tiba-tiba celdam yang sedang dipakainya tiba-tiba lenyap.
Banaspati adalah hantu berbentuk kepala dengan rambut yang menyala bagaikan api. Dia berjalan dengan kedua tangannya yang muncul dari kepalanya. Dipercaya bahwa banaspati suka menghisap darah dari pembalut wanita yang dibuang sembarangan.Wanita yang dihisap bekas pembalutnya akan kesurupan. Hantu jenis ini tidak pernah minum darah dari makluk yang masih hidup. Tidak seperti vampire yang suka menggigit korbannya.
Semua jenis hantu ini tinggal di tempat gelap. Setelah listrik masuk desa dan lampu dipasang ditempat-tempat gelap, cerita hantu sudah jarang terdengar. Kemana para hantu itu pergi ? Sedang shooting film, Mas......
Labels:
angkrek kertas,
banaspati,
bantul yogyakarta,
geertz,
gunarjo,
Kelik Supriyanto,
kentongan,
memedi,
oncit-oncit,
othe-othe,
wewe
07 Maret 2009
Jambal-Jambalan
Labels:
Jambal-jambalan. njangkar,
korban,
lari,
M. Rizal Abdi,
malang,
pengikut,
sasaran
Langganan:
Postingan (Atom)