By Nella A.P.
Bekelan berasal dari bahasa Belanda, bikkelen. Permainan ini masih saudara dengan gathengan. Kalau gathengan hanya menggunakan batu kerikil, bekelan menggunakan seperangkat alat khusus yang dinamakan bekel. Bekel ini terdiri dari sebuah bola bekel dan lima buah biji bekel berbentuk logam. Ada yang terbuat dari kuningan, dan ada yang terbuat dari bahan timah.
Pada awalnya biji bekel dibuat dari engsel tulang tumit kaki belakang domba. Sekarang dibuat dari logam. Bentuk biji bekel nyaris seragam di berbagai negara. Tidak mengalami perubahan sejak dahulu. Terdiri dari empat biji bekel dan satu bola bekel.
Logam ini memiliki bentuk yang khas. Terdiri dari permukaan kasar yang ditandai dengan lubang-lubang kecil di permukannya berjumlah lima titik, permukaan halus yang ada tanda silang atau polos sama sekali, permukaan atas yang ada bintik merahnya, dan permukaan bawah yang tidak ada tanda catnya.
Permainan ini dilakukan dengan cara menyebar dan melempar bola ke atas dan menangkapnya setelah bola memantul sekali di lantai. Kalau bola tidak tertangkap atau bola memantul beberapa kali maka pemain dinyatakan mati.
Pertama, pemain menggenggam seluruh biji bekel dan menyebar seluruhnya ke lantai sambil melemparkan bola bekel ke atas dan menangkapnya. Biji bekel diambil satu-satu sampai habis. Ulangi lagi menyebar seluruh biji bekel dan diambil 2 biji bekel, diambil dengan 3 biji bekel, diambil 4 biji bekel, terakhir lima biji bekel diraup sekaligus.
Langkah kedua, Balik posisi bekel menghadap ke atas semua satu persatu. Ulangi terus sampai seluruh permukaan bekel menghadap ke atas semua. lalu ambil satu bekel, ambil 2 biji bekel, ambil 3 biji bekel, ambil 4 biji bekel, terakhir raup seluruh biji bekel.
Langkah ketiga , balik posisi biji bekel menghadap kebawah dan ulangi langkah sepertei langkah kedua dengan mengambil biji bekel 1, 2, 4, dan seluruhnya.
Langkah keempat, balik seluruh posisi bekel bagian permukaan yang halus menghadap ke atas lalu ambil biji bekel seperti langkah ketiga.
Langkah kelima, balik posisi bekel posisi permukaan kasar menghadap ke atas semua, lalu ambil biji bekel seperti langkah sebelumnya,
Langkah terakhir dinamakan Nasgopel. Balik posisi biji bekel mengahadap ke atas semua, kemudian balik lagi semuanya menghadap kebawah semua, terus permukaan halus menghadap ke atas semua, dan terakhir balik satu persatu permukaan kasarnya menghadap ke atas semua. Raup seluruh biji bekel dalam sekali genggaman. Bila ada kesalahan dalam langkah nasgopel ini pemain harus mengulang ke langkah awal nasgopel. Pemain yang bisa melewati tahap ini dinyatakan sudah menang dan berhak untuk istirahat sambil menonton teman-temannya yang belum bisa menyelesaikan permainan.
Namun ada juga beberapa temanku di Patalan, Bantul, Yogyakarta yang menganggap bahwa permainan ini belum selesai. Dan masih harus melakukan satu tahapan lagi. Sebuah bekel diletakkan di pangkal jempol, lemparkan satu biji bekel tersebut bersamaan dengan melempar bola bekel. tangkap biji bekel tersebut sambil mengambil biji bekel yang ada dilantai, baru tangkap bola yang telah memantul sat kali. kemudian melakukan lagi permainan dari awal sampai tahap nasgopel. Barulah dianggap menang.
Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan, minimal dua orang. Kalau sudah bermain bekelan ini rasanya jadi lupa waktu karena pikiran terkonsentrasi untuk tidak melakukan kesalahan ketika bermain. Jika temannya banyak maka menunggu giliran merupakan hal yang menjengkelkan, sehingga kadang berharap agar temannya melakukan kesalahan dan segera dapat giliran main.
Paling sebel kalau ditonton oleh anak laki-laki. Mereka biasanya mengganggu agar hilang konsentrasi dan melakukan kesalahan. Kalau ada yang mati mereka akan teriak kegirangan.
21 Mei 2009
Bekelan
Labels:
bantul yogyakarta,
batul,
bekelan,
biji bekel,
bikkelen,
bola bekel,
dilempar ke atas,
diraup,
nasgopel,
Nella. A.P,
patalan,
timah
13 Mei 2009
Asin Naga
By Dwi Kurniawan
Permainan yang ini merupakan salah satu permainan waktu kecil dulu di Karang Asam, Samarinda, Kalimantan Selatan, yang masih saya ingat. Asin naga sendiri sepertinya memiliki nama yang berbeda pada setiap daerah. Permainan ini sendiri belum jelas mengapa diberi nama seperti itu. Mungkin ada cerita panjang dibalik penamaan yang belum saya tahu itu.
Permainan yang dimainkan oleh dua orang sampai lima orang, dan menyesuaikan luas tempatnya. Maklum, permainan ini biasanya dilakukan di tanah lapang dan mesti tanah yang kering. Tidak direrumputan karena sayang rumputnya yang dikorbanin.
Kita mesti membuat petak-petak, dibuat kotak-kotak dengan cara menggaris di tanah dengan benda apa saja yang penting berbekas. Coba kalau rumput ? Kan, sayang toh. Setiap pemain harus memiliki sebuah patahan keramik atau apapun yang berbentuk pipih sebagai alat bantu yang disebut epek.
Urutan pemain dilakukan dengan cara gambreng atau hom pim pah. Dari hasil undian tersebut permainan dapat segera dimulai. Pemain segera melemparkan epeknya pada jarak tertentu. Lalu berjalan melewati petak tersebut dengan satu kaki dan tidak boleh berganti dengan kaki yang lain. Harus mengintari petak tersebut dan yang pertama lolos dialah pemenangnya.
Permainan ini identik dengan kisaran umur anak-anak SD. Dan, biasanya kalau habis main ada saja yang ngompol karena harus melompat-lompat. Permainan ini tergolong permainan yang cukup menguras tenaga dan melelahkan.
Permainan yang ini merupakan salah satu permainan waktu kecil dulu di Karang Asam, Samarinda, Kalimantan Selatan, yang masih saya ingat. Asin naga sendiri sepertinya memiliki nama yang berbeda pada setiap daerah. Permainan ini sendiri belum jelas mengapa diberi nama seperti itu. Mungkin ada cerita panjang dibalik penamaan yang belum saya tahu itu.
Permainan yang dimainkan oleh dua orang sampai lima orang, dan menyesuaikan luas tempatnya. Maklum, permainan ini biasanya dilakukan di tanah lapang dan mesti tanah yang kering. Tidak direrumputan karena sayang rumputnya yang dikorbanin.
Kita mesti membuat petak-petak, dibuat kotak-kotak dengan cara menggaris di tanah dengan benda apa saja yang penting berbekas. Coba kalau rumput ? Kan, sayang toh. Setiap pemain harus memiliki sebuah patahan keramik atau apapun yang berbentuk pipih sebagai alat bantu yang disebut epek.
Urutan pemain dilakukan dengan cara gambreng atau hom pim pah. Dari hasil undian tersebut permainan dapat segera dimulai. Pemain segera melemparkan epeknya pada jarak tertentu. Lalu berjalan melewati petak tersebut dengan satu kaki dan tidak boleh berganti dengan kaki yang lain. Harus mengintari petak tersebut dan yang pertama lolos dialah pemenangnya.
Permainan ini identik dengan kisaran umur anak-anak SD. Dan, biasanya kalau habis main ada saja yang ngompol karena harus melompat-lompat. Permainan ini tergolong permainan yang cukup menguras tenaga dan melelahkan.
12 Mei 2009
Nekeran
By Kelik Supriyanto
Nekeran atau bermain gundu, merupakan permainan anak paling terkenal dan telah tersebar keseluruh dunia. Istilah neker berasal dari bahasa Belanda knikkers yang berarti kelereng. Di British Museum disimpan berbagai gundu kuno dari berbagai belahan dunia. Ada gundu dari Mesir Kuno dan Roma. Ditemukan juga di Piramid Aztec. Gundu jaman dahulu dibuat dari tanah liat dan batu, terutama dari batu marmer. Baru pada tahun 1890, pabrik gundu pertama dibangun di Jerman, menyusul di Amerika Serikat. Tahun 1922 turnamen gundu pertama kali diadakan di Wildwood, New Jersey. Di Yogyakarta juga ada tiga gundu raksasa terbuat dari batu marmer berdiameter sekitar 15 cm sampai 30 cm yang disimpan di dekat Makam Kotagede. Batu yang dinamakan Watu Gatheng itu konon merupakan mainan Raden Rangga anak Panembahan Senopati yang berkuasa di kerajaan Mataram Islam sekitar abad ke 16.
Saat ini jenis kelereng yang paling populer terbuat dari bola gelas. Ukuran gundu berkisar 1,2 cm sampai 6 cm. Kebanyakan transparan dengan berbagai corak didalamnya, dinamakan kelereng blimbing, karena hiasan di dalam kelereng seperti bentuk belimbing. Yang berwarna putih dinamakan kelereng susu.
Permainannya sangat sederhana. Minimal dua anak. Biasa dimainkan oleh anak laki-laki, biarpun juga tidak menutup kemungkinan ada anak perempuan yang ikut main. Mula-mula semua pemain berdiri sejajar dengan sebuah garis ditanah sebagai pembatas, yang melewati pembatas dianggap gugur dan permainan diulang kembali.
Semua pemain melemparkan gundunya ke satu lubang yang dibuat sebelumnya, istilahnya nuju. Lubang untuk nuju dibuat dengan cara membenamkan gundu ke tanah yang agak padat sehingga membentuk cekungan setengah lingkaran, dinamakan cliwikan. Urutan pemain berdasarkan kedekatan dengan lubang sasaran. Yang paling dekat berhak main duluan. Dia harus memasukkan gundunya ke lubang sasaran. Bila dapat masuk ke lubang dia berhak membidik sasaran lawan. Kalau gundunya tidak dapat masuk ke lubang maka digantikan oleh pemain berikutnya.
Gundu lawan yang kena bidik langsung menjadi milik pembidik. Dia berhak membidik sampai dianggap mati. Dianggap mati bila gundu pembidik masuk ke lubang sasaran atau gundu pembidik dan gundu yang telah jadi sasaran berjarak kurang dari satu kilan, jarak antara ujung jempol tangan dengan kelingking. Bila dapat giliran main tetapi jarak antara gundu pemain dengan gundu sasaran terlalu dekat yang memungkinkan menyenggol gundu lawan atau merasa susah membidik gundu sasaran karena terlalu jauh bisa langsung bilang in, dia menyerah tidak mau mengambil giliran main dan gundunya dipindahkan ke dalam lubang tempat nuju. Meleset dalam membidik juga dianggap mati.
Tiap anak mempunyai teknik membidik yang berlainan, mereka mempunyai gaya yang paling disukainya. Gundu dijepit dengan jari telunjuk dan disentil dengan jempol, istilahnya njenthot. . Dijepit diantara jari tengah dan jempol, terus disentil dengan jari tengah, istilahnya nylenthik. Menggunakan dua buah tangan. Jari telunjuk dan jempol tangan kiri menjepit gundu lalu disentil dengan jari tengah tangan kanan, istilahnya nyladang.
Bagi pemain yang kalah dan habis gundunya langsung keluar dari permainan. Ada juga yang utang ke pemain yang menang. Permainan berakhir bila sudah bosan atau sudah tidak ada yang punya gundu karena diborong oleh pemenang, istilahnya ngeruk, karena telah berhasil mengambil seluruh gundu pemain. Bagi yang jagoan dalam bermain gundu, bisa menghasilkan uang karena hasil kemenangan bisa dijual ke temannya, tentunya dengan harga yang bisa dinego, tergantung baik dan buruknya kondisi gundu. Cino craki, istilah yang ditujukan bagi anak yang sudah banyak menang tetapi tidak mau menghutangkan gundunya pada pemain yang kalah.
Inilah permainnya waktu kecil di Yogyakarta yang cukup membekas karena saya tidak cukup mahir membidik jadi kalau bermain dengan anak yang mahir lebih baik berhenti bermain saja karena kemungkinan menangnya sangat tipis, Jadi nyari tantangan yang setara saja.
Nekeran atau bermain gundu, merupakan permainan anak paling terkenal dan telah tersebar keseluruh dunia. Istilah neker berasal dari bahasa Belanda knikkers yang berarti kelereng. Di British Museum disimpan berbagai gundu kuno dari berbagai belahan dunia. Ada gundu dari Mesir Kuno dan Roma. Ditemukan juga di Piramid Aztec. Gundu jaman dahulu dibuat dari tanah liat dan batu, terutama dari batu marmer. Baru pada tahun 1890, pabrik gundu pertama dibangun di Jerman, menyusul di Amerika Serikat. Tahun 1922 turnamen gundu pertama kali diadakan di Wildwood, New Jersey. Di Yogyakarta juga ada tiga gundu raksasa terbuat dari batu marmer berdiameter sekitar 15 cm sampai 30 cm yang disimpan di dekat Makam Kotagede. Batu yang dinamakan Watu Gatheng itu konon merupakan mainan Raden Rangga anak Panembahan Senopati yang berkuasa di kerajaan Mataram Islam sekitar abad ke 16.
Saat ini jenis kelereng yang paling populer terbuat dari bola gelas. Ukuran gundu berkisar 1,2 cm sampai 6 cm. Kebanyakan transparan dengan berbagai corak didalamnya, dinamakan kelereng blimbing, karena hiasan di dalam kelereng seperti bentuk belimbing. Yang berwarna putih dinamakan kelereng susu.
Permainannya sangat sederhana. Minimal dua anak. Biasa dimainkan oleh anak laki-laki, biarpun juga tidak menutup kemungkinan ada anak perempuan yang ikut main. Mula-mula semua pemain berdiri sejajar dengan sebuah garis ditanah sebagai pembatas, yang melewati pembatas dianggap gugur dan permainan diulang kembali.
Semua pemain melemparkan gundunya ke satu lubang yang dibuat sebelumnya, istilahnya nuju. Lubang untuk nuju dibuat dengan cara membenamkan gundu ke tanah yang agak padat sehingga membentuk cekungan setengah lingkaran, dinamakan cliwikan. Urutan pemain berdasarkan kedekatan dengan lubang sasaran. Yang paling dekat berhak main duluan. Dia harus memasukkan gundunya ke lubang sasaran. Bila dapat masuk ke lubang dia berhak membidik sasaran lawan. Kalau gundunya tidak dapat masuk ke lubang maka digantikan oleh pemain berikutnya.
Gundu lawan yang kena bidik langsung menjadi milik pembidik. Dia berhak membidik sampai dianggap mati. Dianggap mati bila gundu pembidik masuk ke lubang sasaran atau gundu pembidik dan gundu yang telah jadi sasaran berjarak kurang dari satu kilan, jarak antara ujung jempol tangan dengan kelingking. Bila dapat giliran main tetapi jarak antara gundu pemain dengan gundu sasaran terlalu dekat yang memungkinkan menyenggol gundu lawan atau merasa susah membidik gundu sasaran karena terlalu jauh bisa langsung bilang in, dia menyerah tidak mau mengambil giliran main dan gundunya dipindahkan ke dalam lubang tempat nuju. Meleset dalam membidik juga dianggap mati.
Tiap anak mempunyai teknik membidik yang berlainan, mereka mempunyai gaya yang paling disukainya. Gundu dijepit dengan jari telunjuk dan disentil dengan jempol, istilahnya njenthot. . Dijepit diantara jari tengah dan jempol, terus disentil dengan jari tengah, istilahnya nylenthik. Menggunakan dua buah tangan. Jari telunjuk dan jempol tangan kiri menjepit gundu lalu disentil dengan jari tengah tangan kanan, istilahnya nyladang.
Bagi pemain yang kalah dan habis gundunya langsung keluar dari permainan. Ada juga yang utang ke pemain yang menang. Permainan berakhir bila sudah bosan atau sudah tidak ada yang punya gundu karena diborong oleh pemenang, istilahnya ngeruk, karena telah berhasil mengambil seluruh gundu pemain. Bagi yang jagoan dalam bermain gundu, bisa menghasilkan uang karena hasil kemenangan bisa dijual ke temannya, tentunya dengan harga yang bisa dinego, tergantung baik dan buruknya kondisi gundu. Cino craki, istilah yang ditujukan bagi anak yang sudah banyak menang tetapi tidak mau menghutangkan gundunya pada pemain yang kalah.
Inilah permainnya waktu kecil di Yogyakarta yang cukup membekas karena saya tidak cukup mahir membidik jadi kalau bermain dengan anak yang mahir lebih baik berhenti bermain saja karena kemungkinan menangnya sangat tipis, Jadi nyari tantangan yang setara saja.
Labels:
Cino craki,
dolanan jadul,
gundu,
kelereng blimbing,
kelereng susu,
Kelik Supriyanto,
kilan,
knikkers,
membidik,
nekeran,
ngeruk,
njenthot,
nuju,
nyladang,
nylenthik,
watu gatheng
Paton-Patonan
By Ahmad Baiquni
Satu permainan yang hingga kini masih meninggalkan kesan bagi saya adalah paton-patonan. Alat yang dibutuhkan hanya tongkat kecil yang ujungnya dibuat runcing. Dicarilah tanah yang gembur atau tempat becek untuk sasaran menancapkan tongkat.
Aturannya sangat sederhana. Setiap pemain melemparkan tongkatnya agar menancap di sasaran yang sudah ditentukan. Yang tidak menancap dinyatakan kalah dan akan diberi hukuman. Dia harus merelakan kaki atau tangannya diolesi tanah becek yang tertempel di ujung tongkat teman-temannya yang menang.
Lama-kelamaan sasaran tanah yang dijadikan sasaran akan semakin meningkat dengan mencari sasaran baru. Permainan akan menjadi seru bila menemukan sasaran berupa kotoran sapi atau kerbau. Yang kalah dijamin akan diolesi kotoran hewan tersebut di kaki atau bagian tangannya.
Bila yang kalah berbuat curang dengan lari dari hukuman, maka teman-temannya akan mengejarnya sambil membawa tongkat yang ujungnya ada kotoran sapi tersebut. Semua anak akan berusaha menangkap yang kalah tersebut dan beramai-ramai mengolesinya. Kadang-kadang ada juga yang sampai menangis karena terlalu banyaknya kotoran yang dioleskannya.
Saat itu kami enjoy saja dan tidak merasa jijik dalam bermain karena dalam bermain paton-patonan semua anak terkonsentrasi untuk tepat melemparkan tongkatnya ke sasaran. Keterampilan dan kecekatan dibutuhkan untuk tidak kalah. Yang sering kalah selalu dijadikan olok-olokan di sekolah. "Bau bau, habis kena kotoran kerbau ya ?," ejek teman-teman di Kediri bila saya kalah dalam bermain paton-patonan.
Satu permainan yang hingga kini masih meninggalkan kesan bagi saya adalah paton-patonan. Alat yang dibutuhkan hanya tongkat kecil yang ujungnya dibuat runcing. Dicarilah tanah yang gembur atau tempat becek untuk sasaran menancapkan tongkat.
Aturannya sangat sederhana. Setiap pemain melemparkan tongkatnya agar menancap di sasaran yang sudah ditentukan. Yang tidak menancap dinyatakan kalah dan akan diberi hukuman. Dia harus merelakan kaki atau tangannya diolesi tanah becek yang tertempel di ujung tongkat teman-temannya yang menang.
Lama-kelamaan sasaran tanah yang dijadikan sasaran akan semakin meningkat dengan mencari sasaran baru. Permainan akan menjadi seru bila menemukan sasaran berupa kotoran sapi atau kerbau. Yang kalah dijamin akan diolesi kotoran hewan tersebut di kaki atau bagian tangannya.
Bila yang kalah berbuat curang dengan lari dari hukuman, maka teman-temannya akan mengejarnya sambil membawa tongkat yang ujungnya ada kotoran sapi tersebut. Semua anak akan berusaha menangkap yang kalah tersebut dan beramai-ramai mengolesinya. Kadang-kadang ada juga yang sampai menangis karena terlalu banyaknya kotoran yang dioleskannya.
Saat itu kami enjoy saja dan tidak merasa jijik dalam bermain karena dalam bermain paton-patonan semua anak terkonsentrasi untuk tepat melemparkan tongkatnya ke sasaran. Keterampilan dan kecekatan dibutuhkan untuk tidak kalah. Yang sering kalah selalu dijadikan olok-olokan di sekolah. "Bau bau, habis kena kotoran kerbau ya ?," ejek teman-teman di Kediri bila saya kalah dalam bermain paton-patonan.
Langganan:
Postingan (Atom)