12 Mei 2009

Nekeran

By Kelik Supriyanto

Nekeran atau bermain gundu, merupakan permainan anak paling terkenal dan telah tersebar keseluruh dunia. Istilah neker berasal dari bahasa Belanda knikkers yang berarti kelereng. Di British Museum disimpan berbagai gundu kuno dari berbagai belahan dunia. Ada gundu dari Mesir Kuno dan Roma. Ditemukan juga di Piramid Aztec. Gundu jaman dahulu dibuat dari tanah liat dan batu, terutama dari batu marmer. Baru pada tahun 1890, pabrik gundu pertama dibangun di Jerman, menyusul di Amerika Serikat. Tahun 1922 turnamen gundu pertama kali diadakan di Wildwood, New Jersey. Di Yogyakarta juga ada tiga gundu raksasa terbuat dari batu marmer berdiameter sekitar 15 cm sampai 30 cm yang disimpan di dekat Makam Kotagede. Batu yang dinamakan Watu Gatheng itu konon merupakan mainan Raden Rangga anak Panembahan Senopati yang berkuasa di kerajaan Mataram Islam sekitar abad ke 16.

Saat ini jenis kelereng yang paling populer terbuat dari bola gelas. Ukuran gundu berkisar 1,2 cm sampai 6 cm. Kebanyakan transparan dengan berbagai corak didalamnya, dinamakan kelereng blimbing, karena hiasan di dalam kelereng seperti bentuk belimbing. Yang berwarna putih dinamakan kelereng susu.

Permainannya sangat sederhana. Minimal dua anak. Biasa dimainkan oleh anak laki-laki, biarpun juga tidak menutup kemungkinan ada anak perempuan yang ikut main. Mula-mula semua pemain berdiri sejajar dengan sebuah garis ditanah sebagai pembatas, yang melewati pembatas dianggap gugur dan permainan diulang kembali.

Semua pemain melemparkan gundunya ke satu lubang yang dibuat sebelumnya, istilahnya nuju. Lubang untuk nuju dibuat dengan cara membenamkan gundu ke tanah yang agak padat sehingga membentuk cekungan setengah lingkaran, dinamakan cliwikan. Urutan pemain berdasarkan kedekatan dengan lubang sasaran. Yang paling dekat berhak main duluan. Dia harus memasukkan gundunya ke lubang sasaran. Bila dapat masuk ke lubang dia berhak membidik sasaran lawan. Kalau gundunya tidak dapat masuk ke lubang maka digantikan oleh pemain berikutnya.

Gundu lawan yang kena bidik langsung menjadi milik pembidik. Dia berhak membidik sampai dianggap mati. Dianggap mati bila gundu pembidik masuk ke lubang sasaran atau gundu pembidik dan gundu yang telah jadi sasaran berjarak kurang dari satu kilan, jarak antara ujung jempol tangan dengan kelingking. Bila dapat giliran main tetapi jarak antara gundu pemain dengan gundu sasaran terlalu dekat yang memungkinkan menyenggol gundu lawan atau merasa susah membidik gundu sasaran karena terlalu jauh bisa langsung bilang in, dia menyerah tidak mau mengambil giliran main dan gundunya dipindahkan ke dalam lubang tempat nuju. Meleset dalam membidik juga dianggap mati.

Tiap anak mempunyai teknik membidik yang berlainan, mereka mempunyai gaya yang paling disukainya. Gundu dijepit dengan jari telunjuk dan disentil dengan jempol, istilahnya njenthot. . Dijepit diantara jari tengah dan jempol, terus disentil dengan jari tengah, istilahnya nylenthik. Menggunakan dua buah tangan. Jari telunjuk dan jempol tangan kiri menjepit gundu lalu disentil dengan jari tengah tangan kanan, istilahnya nyladang.

Bagi pemain yang kalah dan habis gundunya langsung keluar dari permainan. Ada juga yang utang ke pemain yang menang. Permainan berakhir bila sudah bosan atau sudah tidak ada yang punya gundu karena diborong oleh pemenang, istilahnya ngeruk, karena telah berhasil mengambil seluruh gundu pemain. Bagi yang jagoan dalam bermain gundu, bisa menghasilkan uang karena hasil kemenangan bisa dijual ke temannya, tentunya dengan harga yang bisa dinego, tergantung baik dan buruknya kondisi gundu. Cino craki, istilah yang ditujukan bagi anak yang sudah banyak menang tetapi tidak mau menghutangkan gundunya pada pemain yang kalah.

Inilah permainnya waktu kecil di Yogyakarta yang cukup membekas karena saya tidak cukup mahir membidik jadi kalau bermain dengan anak yang mahir lebih baik berhenti bermain saja karena kemungkinan menangnya sangat tipis, Jadi nyari tantangan yang setara saja.