23 Juni 2009

Pagla

By Iryan Ali

“Cring‭…”
Semua uang logam cepekan itu buyar,‭ ‬mencar ke mana-mana,‭ ‬setelah dilempar Deden dari jarak tiga meter ke lubang kecil berdiameter‭ ‬8‭ ‬cm dan dalam‭ ‬3‭ ‬cm.‭ ‬Wajah Deden langsung‭ ‬bungah,‭ ‬berseri,‭ ‬senyum senang melihat ada dua koin cepekan berwarna emas itu masuk ke lubang yang sengaja dibuat sedikit agak lebar dari uang logam itu.

“‬Nu mana Pik‭?” ‬kata Deden ke Taufik.‭ ‬Taufik yang punya kesempatan giliran melempar koin setelah Deden bingung memilih koin mana yang perlu diincar Deden untuk dikenai koin gundu yang dipegangnya.

Anak-anak yang lain pun bersorak,‭ ‬menyarankan untuk menunjuk salah satu koin yang dirasa sulit,‭ ‬sehingga Deden tidak bisa mengenainya.‭ ‬Salah satu syarat untuk mendapatkan semua uang yang ditaruhkan itu adalah mengenai incaran yang sengaja dipilihkan.‭ ‬Sehingga,‭ ‬satu sama lain saling menjebak agar kumpulan uang receh itu lama didapatnya,‭ ‬atau kalaupun habis karena diperoleh dengan cara lempar-masukan uang recehan itu ke lubang.

Ada tiga koin yang numpuk jejer secara impitan,‭ ‬dan Taufik meminta koin yang tengah itu untuk dikenai koin gundu Deden.‭ ‬Ternyata,‭ ‬tembakan itu meleset,‭ ‬malah mengenai koin yang lain.‭ ‬Anak-anak yang lain pun‭ ‬atoh,‭ ‬sorak gembira,‭ ‬termasuk saya,‭ ‬karena berarti tidak jadi mendapatkan semua koin.‭ ‬Seterusnya,‭ ‬Taufik yang melempar,‭ ‬dan giliran saya yang akan menunjuk salah satu koin untuk ditembak.‭ ‬Setelah itu,‭ ‬seterusnya pula semua bergiliran.

Begitulah,‭ ‬biasanya saya dan teman kerap melakukan permainan taruhan lempar koin semacam itu di halaman pinggiran rumah,‭ ‬dekat pohon belimbing,‭ ‬di Kampung Karajan Desa Pangulah Selatan Kotabaru Karawang.‭ ‬Permainan ini biasa kami sebut Pagla,‭ ‬yakni permainan mempertaruhkan sejumlah koin yang dikumpulkan,‭ ‬lalu setiap orang yang ikut permainan punya kesempatan bergilir untuk memperebutkannya dengan cara melempar-masukan ke lubang atau mengenai salah satu koin yang sengaja diincar.

Cara bermain Pagla ialah berdasar kesepatkatan.‭ ‬Pertama,‭ ‬menyepakati jumlah uang logam yang hendak pertaruhkan oleh setiap orang.‭ ‬Kedua,‭ ‬jenis uang logam macam apa yang hendak dikumpulkan.‭ ‬Ketiga,‭ ‬mengatur jarak garis lempar permainan.‭ ‬Keempat,‭ ‬membuat lubang berdiameter seukuran uang logam yang telah disepakati.

Maka,‭ ‬caranya ialah setiap orang mendapat giliran kesempatan untuk melemparkan uang logam yang dikumpul,‭ ‬lalu mengincar lubang,‭ ‬berharap ada yang masuk.‭ ‬Apabila masuk,‭ ‬maka uang itu layak didapat orang yang melemparnya,‭ ‬sesuai dengan jumlah yang masuk.‭ ‬Setelah itu,‭ ‬orang yang yang mendapat giliran melempar koin berikutnya akan menunjuk koin mana yang perlu dituju untuk dikenakan oleh si pelempar dari jarak yang telah ditentukan di awal permainan.‭ ‬Apabila lemparannya jitu,‭ ‬mengenai koin yang ditunjuk oleh temannya,‭ ‬maka otomatis dia akan mendapatkan koin itu semua.

Tetapi,‭ ‬anak-anak tidak bisa bermain permainan semacam itu setiap hari atau bulan.‭ ‬Biasanya,‭ ‬saya di kampung melakukan permainan itu hanya saat memiliki cukup banyak uang.‭ ‬Artinya,‭ ‬kami menuggu musim di mana setiap anak tengah memegang uang.‭ ‬Jadi,‭ ‬biasanya kami melakukan permainan saat hari-hari libur lebaran,‭ ‬di mana setiap anak di kampung kami mendapat‭ ‬ceceupan dari sanak keluarga dan tetangga.
Sekarang,‭ ‬anak-anak di kampung saya sudah jarang sekali ada yang bermain Pagla,‭ ‬seperti yang saya lihat pada keponakan saya.‭ ‬Pertama,‭ ‬permainan ini dilarang para orang tua karena dinilai judi.‭ ‬Kedua,‭ ‬saat ini,‭ ‬ketika lebaran anak-anak biasanya memilih untuk membelanjakan uang‭ ‬ceceupan ke pasar,‭ ‬membeli pistol mainan,‭ ‬atau sekadar jajan di Alfa Mart atau sekadar main ke Cikampek Mall.‭ ‬Ketiga,‭ ‬menabung uang‭ ‬ceceupan itu untuk membeli tas,‭ ‬buku atau sepatu baru sebelum masuk sekolah.

Tentunya,‭ ‬sampai di sini,‭ ‬saya memaknai Pagla sekadar bagian dari ingatan dan pengalaman yang biasa saya lewatkan saat lebaran,‭ ‬selain ingatan pada ketupat,‭ ‬naik bukit Ciganea Purwakarta dan nonton televisi.‭[‬iyan‭]