By Iryan Ali
“Cring…”
Semua uang logam cepekan itu buyar, mencar ke mana-mana, setelah dilempar Deden dari jarak tiga meter ke lubang kecil berdiameter 8 cm dan dalam 3 cm. Wajah Deden langsung bungah, berseri, senyum senang melihat ada dua koin cepekan berwarna emas itu masuk ke lubang yang sengaja dibuat sedikit agak lebar dari uang logam itu.
“Nu mana Pik?” kata Deden ke Taufik. Taufik yang punya kesempatan giliran melempar koin setelah Deden bingung memilih koin mana yang perlu diincar Deden untuk dikenai koin gundu yang dipegangnya.
Anak-anak yang lain pun bersorak, menyarankan untuk menunjuk salah satu koin yang dirasa sulit, sehingga Deden tidak bisa mengenainya. Salah satu syarat untuk mendapatkan semua uang yang ditaruhkan itu adalah mengenai incaran yang sengaja dipilihkan. Sehingga, satu sama lain saling menjebak agar kumpulan uang receh itu lama didapatnya, atau kalaupun habis karena diperoleh dengan cara lempar-masukan uang recehan itu ke lubang.
Ada tiga koin yang numpuk jejer secara impitan, dan Taufik meminta koin yang tengah itu untuk dikenai koin gundu Deden. Ternyata, tembakan itu meleset, malah mengenai koin yang lain. Anak-anak yang lain pun atoh, sorak gembira, termasuk saya, karena berarti tidak jadi mendapatkan semua koin. Seterusnya, Taufik yang melempar, dan giliran saya yang akan menunjuk salah satu koin untuk ditembak. Setelah itu, seterusnya pula semua bergiliran.
Begitulah, biasanya saya dan teman kerap melakukan permainan taruhan lempar koin semacam itu di halaman pinggiran rumah, dekat pohon belimbing, di Kampung Karajan Desa Pangulah Selatan Kotabaru Karawang. Permainan ini biasa kami sebut Pagla, yakni permainan mempertaruhkan sejumlah koin yang dikumpulkan, lalu setiap orang yang ikut permainan punya kesempatan bergilir untuk memperebutkannya dengan cara melempar-masukan ke lubang atau mengenai salah satu koin yang sengaja diincar.
Cara bermain Pagla ialah berdasar kesepatkatan. Pertama, menyepakati jumlah uang logam yang hendak pertaruhkan oleh setiap orang. Kedua, jenis uang logam macam apa yang hendak dikumpulkan. Ketiga, mengatur jarak garis lempar permainan. Keempat, membuat lubang berdiameter seukuran uang logam yang telah disepakati.
Maka, caranya ialah setiap orang mendapat giliran kesempatan untuk melemparkan uang logam yang dikumpul, lalu mengincar lubang, berharap ada yang masuk. Apabila masuk, maka uang itu layak didapat orang yang melemparnya, sesuai dengan jumlah yang masuk. Setelah itu, orang yang yang mendapat giliran melempar koin berikutnya akan menunjuk koin mana yang perlu dituju untuk dikenakan oleh si pelempar dari jarak yang telah ditentukan di awal permainan. Apabila lemparannya jitu, mengenai koin yang ditunjuk oleh temannya, maka otomatis dia akan mendapatkan koin itu semua.
Tetapi, anak-anak tidak bisa bermain permainan semacam itu setiap hari atau bulan. Biasanya, saya di kampung melakukan permainan itu hanya saat memiliki cukup banyak uang. Artinya, kami menuggu musim di mana setiap anak tengah memegang uang. Jadi, biasanya kami melakukan permainan saat hari-hari libur lebaran, di mana setiap anak di kampung kami mendapat ceceupan dari sanak keluarga dan tetangga.
Sekarang, anak-anak di kampung saya sudah jarang sekali ada yang bermain Pagla, seperti yang saya lihat pada keponakan saya. Pertama, permainan ini dilarang para orang tua karena dinilai judi. Kedua, saat ini, ketika lebaran anak-anak biasanya memilih untuk membelanjakan uang ceceupan ke pasar, membeli pistol mainan, atau sekadar jajan di Alfa Mart atau sekadar main ke Cikampek Mall. Ketiga, menabung uang ceceupan itu untuk membeli tas, buku atau sepatu baru sebelum masuk sekolah.
Tentunya, sampai di sini, saya memaknai Pagla sekadar bagian dari ingatan dan pengalaman yang biasa saya lewatkan saat lebaran, selain ingatan pada ketupat, naik bukit Ciganea Purwakarta dan nonton televisi.[iyan]