By : Achmad Choirudin
Azdan untuk waktu Dzuhur berkumandang. Siang itu, dengan badan lusuh dan lapar, saya pulang ke rumah setelah setengah hari meninggalkannya. “Dari mana saja kamu itu?” tanya Ibu menyambut kedatanganku dengan nada agak membentak.
Kala itu saya berusia kira-kira 8 tahun. Duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar Negeri Pekuwon II, Kec. Sumberrejo, Kab. Bojonegoro. Namanya anak-anak, paling senang ya bermain. Dalam bahasa jawa dolanan. Saya pun menjawab, “Habis dolanan.” Dan Ibu sontak menyahutnya, “Bocah kok senengane dolanan ae. Sampe lali maem.”
Lantas ibu melanjutkan umpatannya, “Dolanan apa kok tangannya kotor gitu?” ya siang itu saya habis dolanan mple’-mple’an. Jenis dolanan ini pasti membuat tangan kotor dengan tanah. Sisa-sisa tanah menempel di telapak tangan. Awalnya tanah itu setengah basah. Lama-lama mengering di tangan. Ups, tapi bukan itu substansi permainan ini. Kotornya tangan hanya efeknya.
Begini awal cerita siang itu. Seperti umpatan Ibu tadi, yang namanya bocah pasti seneng bermain atau dolanan. Dolanan yang lagi ngetrend kala itu (nampaknya hingga sekarang) adalah miniatur mobil atau motor. Biasa disebut mobil-mobilan atau motor-motoran. Kalau punya uang banyak, bisa memainkan mainan mobil atau motor-motoran yang terbuat dari isntrumen teknologi elektronik. Dioperasikan dengan listrik atau tenaga lain dengan basis instalasi kerja rangkaian teknik fisika.
Nah, beda lagi ceritanya kalau cah ndeso yang notabene tak punya uang cukup untuk beli mainan sejenis itu. Padahal tetap pengen punya motor atau mobil-mobilan. Untunya cah ndeso dekat dengan alam. Bisa juga memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah untuk bekal kreatif.
Siang itu, hingga telapak tangan penuh dengan sisa-sisa tanah yang mengering, tak lain kami habis merangkai motor dan mobil-mobilan dari tanah. Tak ada uang buat beli mainan elektronik atau sejenisnya, tanah pun bisa dimanfaatkan.
Tanah itu kan zat padat yang cukup lunak. Dia tidak keras seperti batu. Apalagi tanah yang setengah basah. Kalau terlalu basah, lumpur namanya. Tanah setegah basah mau saja dibentuk jadi berbagai rupa. Dibuat jadi bulat menyerupai bola, mau. Dibentuk kotak seperti balok, tak nolak juga. Kemanutan tanah inilah yang menginspirasi kami untuk membentuknya menjadi miniatur motor atau mobil.
Begini caranya. Ambil tanah setengah basah. Bisa didapatkan dimanapun. Kala itu, saya biasa mengambil tanah setengah basah dari bongkahan rumah yuyu yang melubangi lahan-lahan kosong. Tanah di lereng sugai atau pairit kurang pas. Terlalu basah. Sedangkan tanah bongkahan rumah yuyu kadar kebasahannya tidak terlalu tinggi. Dia lembek, tak lembek-lembek amat dan tak keras. Pokoknya pas lah jadi bahan baku miniatur mobil-mobilan.
Setelah mendapatkan tanah setengah basah secukupnya. Langsung saja mulai membaginya ke dalam beberapa gumpalan sesuai kebutuhan. Misalnya, untuk membentuk sebuah mobil, ada beberapa bagian vital dengan bentuk yang berbeda-beda. Misalnya saja truk. Ada roda, kepala, dan wadah pengangkutnya, bisa berbentuk bak atau box.
Saya sendiri paling senang membentuk miniatur truk box. Sealain mudah, bentuknya unik dan estetik. Truk box juga paling sering dipakai untuk beradegan dalam film-film action. Pokoknya keren.
Untuk membentuknya, saya membagi tanah ke dalam bagian rangka, roda, box dan kepala. Tanah yang sudah dibagi itu lantas di padatkan dulu. Caranya simpel. Tinggal meremas-remas dengan tangan. Bagian rangka berbentuk lempengan balok tipis. Fungsinya untuk memangku kepala dan box truk. Cara membentuknya juga sederhana. Tinggal membentur-benturkan tanah yang sudah padat tadi ke lantai. Tetunya tidak dengan keras-keras. Kalau terlalu keras, tanah bakal nempel di lantai. Memukul-mukulkannya dengan tenaga secukupnya dan sesuai alur bentuk. Nah, langkah memukul-mukulkan tanah ke lantai inilah yan disebut mple’-mple’an. Tak ada landasan filosofisnya. Nama itu diadopsi dari bunyi dipukul-pukulkan tanah setengah basah tadi ke lantai. Plek, plek, plek, plek!
Bagian kedua adalah kepala truk. Caranya sama dengan membentuk rangka tadi. Bagian selanjutnya adalah box. Tinggal membentuk tanah setengah basah menjadi balok tebal dengan lebar dan panjang sisi-sisinya sesuai ukuran yang dikehendaki. Setelah kepala dan box jadi, langsung menempelkannya ke lempeng rangka pertama tadi. Agar daya rekatnya kuat, penempelan kepala dan box dilengkapi dengan potongan lidi yang ditancapkan ke bagian bawah kepala dan box. Baru ditancapkan ke lempeng pangkuan. Jadi deh...
Eh, sebentar dulu. Tanpa roda truk tak bisa jalan. Baru sekarang membentuk roda. Caranya sama sekali tak beda. Cuma, membentuk roda agak susah, karena bentuk roda yang bulat. Bagian ini tak cukup untuk di-emplek-emplek saja. Perlu sentuhan lembut tangan untuk mengukir tanah menjadi bulat mendekati sempurna.
Setelah empat roda terbentuk, mari kita pasang ke truk setengah jadi tadi. Dua roda untuk bagian depan, dua roda untuk bagian belakang. Agar roda bisa menggelinding, tentunya perlu as. Saya biasa menggunakan sapu lidi sebagai as roda. Tancapkan potongan sapu lidi ke rangka (lempeng balok tiipis pangkuan kepala dan box tadi), melintang hingga tembus, dan dilebihkan untuk tancapan roda. Dua as untuk bagian depan dan belakang.
Setelah as tertancap, langsung saja pasang roda ke masing-masing sisi as yang terlihat nongol di empat sisi. Caranya tinggal menancapkan saja. Truk sudah bisa berjalan...
Wah, kok rodanya sering lepas? Nah, roda yang tertancap di as tadi harus dikunci agar tidak mudah lepas. Bentuk bulatan tanah lagi. Kecil aja. Tancapkan ke as, di sebelah luar roda. Sekarang truk siap ngebut. Loh, truknya kan tak bisa jalan sendiri? Oh iya ya.
Perlu tenaga pendorong atau penarik. Untuk mainan ini, biasa digerakkan dengan tenaga tarik. Pasang cantolan di bagian depan kepala truk untuk mengaitkan tali. Cantolan ini bisa dari lidi juga. Kaitkan tali, saya biasa memakai serpihan pohon pisang (gedebok) sebagai instrumen penarik truk. Nah, setelah bisa ditarik, truk akan setia menemani petualangan bocah ndeso.