By : Kelik Supriyanto
Beberapa media nasional dan lokal beberapa hari ini menuliskan tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) Yogyakarta, bahwa dua jenis jajanan bagi anak-anak yang ada di arena pasar malam Sekaten, mengandung rhodamin B yaitu zat kimia berbahaya yang biasa digunakan sebagai pewarna merah muda bahan tekstil dan kertas.
Kedua jajanan itu adalah brondong beras dan arum manis. Makanan yang warnanya merah cerah ini sangat disukai oleh anak-anak, karena rasanya yang manis dan warnanya menarik. Ternyata kandungan rhodamin B ini bila dikonsumsi terus-menerus akan tertimbun di jaringan hati dan lemak sehingga dapat menimbulkan kanker hati. Kalau makanan warnanya cerah, rasanya agak pahit, terasa gatal di tenggorokan kalau dimakan, baunya tidak alami, ada kemungkinan terindikasi pakai pewarna beracun ini.
Brondong beras ini dikemas dalam dua bentuk. Ada yang dimasukkan dalam plastik memanjang seperti ular dan ada yang dibuat menyerupai bentuk sepeda motor. Harganya berkisar antara 3 ribu rupiah sampai 7 ribu rupiah. Bagi para penggemar mainan anak-anak tradisional, jenis jajanan yang sekaligus bisa digunakan untuk mainan ini layak untuk dikoleksi. Apalagi, hanya muncul setahun sekali di arena sekaten. Mumpung belum dilarang. Tentunya hanya untuk klangenan saja.
Makanan dari beras ini masih sering dijumpai di pasar tradisional dalam bentuk bulatan kecil-kecil dan dikemas dalam bungkus plastik berisi 10 buah. Berwarna coklat dan putih. Biarpun berbentuk seperti bola tapi tidak untuk mainan karena begitu bungkus dibuka akan langsung masuk mulut. Terlalu lama dibiarkan ditempat terbuka, brondong ini akan melempem dan tidak enak lagi dimakan. Rasanya sangat legit oleh gula merah yang menyelimutinya. Makanya beli yang berwarna putih karena tanpa pewarna.
Pembuatannya dengan cara dioven dalam wajan yang panas dan diaduk-aduk terus agar panasnya merata dan tidak hangus. Setelah semua beras mengembang, dicampurlah dengan gula dan dicetak sesuai bentuk yang diinginkan.
Hati-hatilah dengan makanan, agar badan tetap sehat supaya bisa jalan-jalan, makan-makan, motret-motret dan hunting mainan tradisional.
28 Februari 2009
23 Februari 2009
Ciple Gunung
By : Rini Lestari
Permainanku waktu kecil yang paling aku ingat sampai sekarang adalah Ciple Gunung. Bersama-sama teman kecilku sekitar 5 anak biasa main di halaman SD-ku di kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Untuk menentukan urutan terlebih dahulu kita lakukan hompimpah. Tiap anak harus punya gacoan berupa batu atau pecahan genting. Permainan dimulai dengan melempar gacoan di kotak terendah. Batu yang dilempat tidak boleh keluar garis dan harus di dalam kotak. Bila batu tidak masuk kotak dianggap mati dan diganti oleh urutan berikutnya.
Bila batu sudah masuk kotak, pemain harus lompat dengan satu kaki dan tidak boleh menyentuh batu gacoan. Pada kotak ganda, no 4-5 dan 7-8, kaki langsung dua tanpa loncat. Setelah sampai puncak, kembali ke titik awal sambil mengambil batu gacoannya.
Kalau batu gacoan udah nyampe gunung, yaitu no 9. Ambil batunya dengan membelakangi batu tersebut dengan diraba-raba. Abis itu lembar batu ke atas gunung, kaki di no 7-8 lompat dan injak batu itu. Setelah batu diambil lempar ke titik awal.
Pemain lompat lagi ke arah batu. Kalau sudah selesai pemain akan dapat bintang pada kotak sesuai urutan nomor. Yang ada bintangnya dianggap sebagai rumahnya sendiri dan pemain lain tidak boleh melewati. Kalau pemainnya terlalu banyak atau salah satu pemain belum punya bintang, sehingga tidak bisa meloncati beberapa kotak maka boleh dibuat jalan alternatif atau tangga alternatif agar pemain itu dapat menjangkau lompatannya.
Kalau seluruh kotak sudah ada bintangnya, tetapi mau masih main lagi maka bagian teratas yaitu bagian gunung bisa dibelah menjadi dua bagian agar masih bisa loncat dan dibuat gunung baru diatasnya.
Itulah permainan Ciple Gunung atau disebut juga Gunung-gunungan.
Permainanku waktu kecil yang paling aku ingat sampai sekarang adalah Ciple Gunung. Bersama-sama teman kecilku sekitar 5 anak biasa main di halaman SD-ku di kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Untuk menentukan urutan terlebih dahulu kita lakukan hompimpah. Tiap anak harus punya gacoan berupa batu atau pecahan genting. Permainan dimulai dengan melempar gacoan di kotak terendah. Batu yang dilempat tidak boleh keluar garis dan harus di dalam kotak. Bila batu tidak masuk kotak dianggap mati dan diganti oleh urutan berikutnya.
Bila batu sudah masuk kotak, pemain harus lompat dengan satu kaki dan tidak boleh menyentuh batu gacoan. Pada kotak ganda, no 4-5 dan 7-8, kaki langsung dua tanpa loncat. Setelah sampai puncak, kembali ke titik awal sambil mengambil batu gacoannya.
Kalau batu gacoan udah nyampe gunung, yaitu no 9. Ambil batunya dengan membelakangi batu tersebut dengan diraba-raba. Abis itu lembar batu ke atas gunung, kaki di no 7-8 lompat dan injak batu itu. Setelah batu diambil lempar ke titik awal.
Pemain lompat lagi ke arah batu. Kalau sudah selesai pemain akan dapat bintang pada kotak sesuai urutan nomor. Yang ada bintangnya dianggap sebagai rumahnya sendiri dan pemain lain tidak boleh melewati. Kalau pemainnya terlalu banyak atau salah satu pemain belum punya bintang, sehingga tidak bisa meloncati beberapa kotak maka boleh dibuat jalan alternatif atau tangga alternatif agar pemain itu dapat menjangkau lompatannya.
Kalau seluruh kotak sudah ada bintangnya, tetapi mau masih main lagi maka bagian teratas yaitu bagian gunung bisa dibelah menjadi dua bagian agar masih bisa loncat dan dibuat gunung baru diatasnya.
Itulah permainan Ciple Gunung atau disebut juga Gunung-gunungan.
21 Februari 2009
Gambar Umbul
By : Kelik Supriyanto
Dinamakan gambar umbul karena dalam permainan ini gambar yang diadu harus dilempar keudara. Gambar yang menang adalah gambar yang tengadah kelihatan gambarnya dan yang kalah adalah gambar yang telungkup tidak terlihat gambarnya. Gambar umbul yang terkumpul terus dijepit diantara jari tengah dan telunjuk dan dijentikkan ke udara sehingga semua gambar berterbangan. Seluruh peserta berdebar-debar menunggu gambar jagoannya jatuh di permukaan tanah. Jumlah taruhan tergantung kesepakatannya. Semakin banyak jumlah taruhan, maka yang ikut main biasanya juga semakin sedikit, yang lainnya hanya menonton. Biar rame dan berlangsung lama biasanya jumlah taruhannya cukup satu gambar umbul saja.
Sebelum dimainkan gambar umbul lembaran harus dipotong kecil-kecil sesuai dengan gambar yang ada. Gambar wayang merupakan gambar favorit saya yang terdiri dari 36 gambar. Berisi tokoh-tokoh pewayangan dan beberapa hewan. Nomor 1 dimulai dengan gambar gunungan, nomor 2 - 30, gambar tokoh pewayangan, ada Pandu, Abiasa, Cakil, Baladewa, Puntadewa, Burisrawa, Dursasana, Semar, Petruk, dll. Nomor 31- 36 gambar hewan, ada garuda, menjangan, gajah, naga, banteng, dan macan.
Setiap anak memiliki tokoh idolanya masing-masing. Anak yang suka berkelahi akan memilih Bratasena karena tokoh ini selalu menang dalam peperangan. Anak yang pingin dianggap ganteng oleh teman-temannya akan memilih Arjuna. Gajah akan dipilih oleh anak yang paling gemuk. Anak paling kurus akan pilih gareng. Kadang gambar idola itu akan menjadi nama panggilannya sehingga sampai dewasa masih dipanggil sebagai si gareng atau si bagong.
Gambar umbul idola saya dulu yaitu gambar banteng. Posisi banteng yang siap menanduk dan ekor yang terangkat keatas merupakan gambaran banteng yang sedang marah. Banteng mengingatkan akan kerbau jantan milik paman saya yang suka menanduk kalau diganggu. Sedang kerbau yang betina sangat jinak sehingga kalau saya naiki akan tenang saja dan membawa kita kemanapun kerbau itu pergi untuk makan rumput. Ya, masa lalu memang ada yang indah untuk kita kenang dan ada yang buruk untuk kita lupakan.
Agar gambar umbul yang kita pilih selalu menang, banyak cara dilakukan. Dari cara curang sampai cara mistik. Cara curang dilakukan dengan cara mengelem dua gambar umbul yang sama gambarnya sehingga tidak bisa kalah karena dikedua sisinya ada gambarnya. Kadang kalau ketahuan bisa menimbulkan perkelahian dengan pihak yang kalah. Yang sedikit agar curang yaitu ketika kita dapat giliran mengundi, gambar jagoan kita cekungkan pada bagian gambar sehingga ketika jatuh ke tanah mempunyai peluang untuk menang, tidak tengkurap.
Cara paling unik yaitu dengan cara mistik. Beberapa teman yang pingin jagoannya selalu menang, dia mendatangi nisan dikuburan dan gambar jagoannya ditindih dengan hiasan batu nisan yang berupa kuncup bunga itu. Kadang butuh dua anak untuk bisa mengangkat batu tersebut. Baru keesokan harinya gambar umbul tersebut diambil dan berharap ada pertolongan dari alam arwah agar gambar umbulnya selalu menang ketika diadu.
Saya termasuk sering menang kalau taruhan dengan gambar umbul. Saya kelompokkan antara gambar umbul yang masih bagus dengan yang sudah kusut. Yang sudah kusut ditali dengan karet gelang dan yang masih bagus saya simpan dirumah. Kalau ada yang ngajak taruhan lagi, gambar umbul yang kusut tersebut yang saya jadikan taruhan.
Seiring semakin populernya cerita anak-anak di televisi. Gambar umbul wayang mulai tersisih oleh gambar umbul bergambar cerita komik semisal Batman, Bionic Woman, Tarzan, Gundala, Lucan, Robinhood, The Six Million Dolar Man, Flash Gordon, Rin Tin Tin, dan lainnya.
Tapi, kemana permainan gambar umbul itu sekarang ? Bagaimana kalau tanda gambar peserta pemilu 2009 itu kita gunakan sebagai gambar umbul. Mungkin banyak politisi kita yang akan ikut bermain. Anda, setuju ?
Dinamakan gambar umbul karena dalam permainan ini gambar yang diadu harus dilempar keudara. Gambar yang menang adalah gambar yang tengadah kelihatan gambarnya dan yang kalah adalah gambar yang telungkup tidak terlihat gambarnya. Gambar umbul yang terkumpul terus dijepit diantara jari tengah dan telunjuk dan dijentikkan ke udara sehingga semua gambar berterbangan. Seluruh peserta berdebar-debar menunggu gambar jagoannya jatuh di permukaan tanah. Jumlah taruhan tergantung kesepakatannya. Semakin banyak jumlah taruhan, maka yang ikut main biasanya juga semakin sedikit, yang lainnya hanya menonton. Biar rame dan berlangsung lama biasanya jumlah taruhannya cukup satu gambar umbul saja.
Sebelum dimainkan gambar umbul lembaran harus dipotong kecil-kecil sesuai dengan gambar yang ada. Gambar wayang merupakan gambar favorit saya yang terdiri dari 36 gambar. Berisi tokoh-tokoh pewayangan dan beberapa hewan. Nomor 1 dimulai dengan gambar gunungan, nomor 2 - 30, gambar tokoh pewayangan, ada Pandu, Abiasa, Cakil, Baladewa, Puntadewa, Burisrawa, Dursasana, Semar, Petruk, dll. Nomor 31- 36 gambar hewan, ada garuda, menjangan, gajah, naga, banteng, dan macan.
Setiap anak memiliki tokoh idolanya masing-masing. Anak yang suka berkelahi akan memilih Bratasena karena tokoh ini selalu menang dalam peperangan. Anak yang pingin dianggap ganteng oleh teman-temannya akan memilih Arjuna. Gajah akan dipilih oleh anak yang paling gemuk. Anak paling kurus akan pilih gareng. Kadang gambar idola itu akan menjadi nama panggilannya sehingga sampai dewasa masih dipanggil sebagai si gareng atau si bagong.
Gambar umbul idola saya dulu yaitu gambar banteng. Posisi banteng yang siap menanduk dan ekor yang terangkat keatas merupakan gambaran banteng yang sedang marah. Banteng mengingatkan akan kerbau jantan milik paman saya yang suka menanduk kalau diganggu. Sedang kerbau yang betina sangat jinak sehingga kalau saya naiki akan tenang saja dan membawa kita kemanapun kerbau itu pergi untuk makan rumput. Ya, masa lalu memang ada yang indah untuk kita kenang dan ada yang buruk untuk kita lupakan.
Agar gambar umbul yang kita pilih selalu menang, banyak cara dilakukan. Dari cara curang sampai cara mistik. Cara curang dilakukan dengan cara mengelem dua gambar umbul yang sama gambarnya sehingga tidak bisa kalah karena dikedua sisinya ada gambarnya. Kadang kalau ketahuan bisa menimbulkan perkelahian dengan pihak yang kalah. Yang sedikit agar curang yaitu ketika kita dapat giliran mengundi, gambar jagoan kita cekungkan pada bagian gambar sehingga ketika jatuh ke tanah mempunyai peluang untuk menang, tidak tengkurap.
Cara paling unik yaitu dengan cara mistik. Beberapa teman yang pingin jagoannya selalu menang, dia mendatangi nisan dikuburan dan gambar jagoannya ditindih dengan hiasan batu nisan yang berupa kuncup bunga itu. Kadang butuh dua anak untuk bisa mengangkat batu tersebut. Baru keesokan harinya gambar umbul tersebut diambil dan berharap ada pertolongan dari alam arwah agar gambar umbulnya selalu menang ketika diadu.
Saya termasuk sering menang kalau taruhan dengan gambar umbul. Saya kelompokkan antara gambar umbul yang masih bagus dengan yang sudah kusut. Yang sudah kusut ditali dengan karet gelang dan yang masih bagus saya simpan dirumah. Kalau ada yang ngajak taruhan lagi, gambar umbul yang kusut tersebut yang saya jadikan taruhan.
Seiring semakin populernya cerita anak-anak di televisi. Gambar umbul wayang mulai tersisih oleh gambar umbul bergambar cerita komik semisal Batman, Bionic Woman, Tarzan, Gundala, Lucan, Robinhood, The Six Million Dolar Man, Flash Gordon, Rin Tin Tin, dan lainnya.
Tapi, kemana permainan gambar umbul itu sekarang ? Bagaimana kalau tanda gambar peserta pemilu 2009 itu kita gunakan sebagai gambar umbul. Mungkin banyak politisi kita yang akan ikut bermain. Anda, setuju ?
19 Februari 2009
Maling-Malingan
By : At tachriirotul Muyassaroh
Permainan ini minimal anggotanya dalam satu kelompok ada 4 orang. Terdiri dari dua kelompok. Ada kelompok jaga dan ada kelompok yang ngumpet. Kelompok jaga disebut kelompok polisi dan yang sedang ngumpet disebut kelompok maling.
Pertama-tama yang harus dilakukan, perwakilan kelompok maju ke depan untuk suit, menentukan kelompok mana yang harus jadi malingnya. Lalu, kelompok yang jadi maling harus mencari tempat persembunyian yang dirasa paling aman. Dengan syarat, meninggalkan jejak berupa panah disetiap jalan yang dilaluinya. Dengan kapur tulis digambar tanda panah untuk memberi petunjuk ke kelompok polisi. Bisa di dinding, pohon , maupun perempatan yang dilaluinya. Gambarnya dibuat tidak terlalu gamblang, biar tidak mudah ditemukan oleh lawan.
Selama kelompok maling mencari tempat persembunyian, kelompok polisi menunggu di markas sekitar 5 menit sambil menghitung angka 1 sampai 50 atau malah sampai angka 100 tergantung kesepakatannya. Semakin luas area persembunyiannya dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam menghitung.
Saatnya kelompok polisi mencari jejak kelompok maling untuk menangkapnya. Setiap tanda panah yang sudah dilewati harus disilang agar tidak dilewati lagi untuk yang kedua kalinya. Dan, bila sudah tertangkap maka kelompok maling harus berjaga dan menjadi kelompok polisi demikian berganti-ganti. Tetapi, bila kelompok polisi tidak berhasil menemukan kelompok maling dan menyatakan menyerah, maka permainan dapat diulang lagi dan kelompok maling dapat ngumpet lagi untuk kedua kalinya.
Kelompok maling bisa dikatakan menang secara gemilang, bila seluruh anggota kelompoknya dapat sampai di markas tanpa ketahuan oleh kelompok polisi. Teman-teman akan tertawa kegirangan bila dapat mempencundangi kelompok polisi.
Yang paling menantang kalau sedang jadi kelompok polisi. Coz, kita tertantang untuk mencari jejak di perempatan. Nah, sisitu kita harus nentuin dan menebak kemana kelompok maling itu bersembunyi. Apakah keutara, ketimur, keselatan atau kebarat ? Kita juga harus pintar-pintar mengatur strategi. Kalau saya pas ada di kelompok polisi. Malingnya harus tertangkap.
Di rumah saya dulu ketika kecil di Karangsari, Parakan, Temanggung, permainan maling-malingan ini disebut juga permainan panah-panahan karena harus menggambar tanda panah setiap jalan yang dilaluinya. Ketika sedang sembunyi kadang ada teman saya yang tertawa cekikikan sehingga jadi ketahuan tempat persembunyian kami.
Saat ini sudah tidak saya temui lagi anak-anak di daerah kakek saya itu yang memainkan maling-malingan yang cukup mengasyikkan ini. Gila....!!! Rasanya unforgetable dan seru abiezz permainan waktu kecil saya ini.
Good luck & have a nice game
Permainan ini minimal anggotanya dalam satu kelompok ada 4 orang. Terdiri dari dua kelompok. Ada kelompok jaga dan ada kelompok yang ngumpet. Kelompok jaga disebut kelompok polisi dan yang sedang ngumpet disebut kelompok maling.
Pertama-tama yang harus dilakukan, perwakilan kelompok maju ke depan untuk suit, menentukan kelompok mana yang harus jadi malingnya. Lalu, kelompok yang jadi maling harus mencari tempat persembunyian yang dirasa paling aman. Dengan syarat, meninggalkan jejak berupa panah disetiap jalan yang dilaluinya. Dengan kapur tulis digambar tanda panah untuk memberi petunjuk ke kelompok polisi. Bisa di dinding, pohon , maupun perempatan yang dilaluinya. Gambarnya dibuat tidak terlalu gamblang, biar tidak mudah ditemukan oleh lawan.
Selama kelompok maling mencari tempat persembunyian, kelompok polisi menunggu di markas sekitar 5 menit sambil menghitung angka 1 sampai 50 atau malah sampai angka 100 tergantung kesepakatannya. Semakin luas area persembunyiannya dibutuhkan waktu yang lebih lama dalam menghitung.
Saatnya kelompok polisi mencari jejak kelompok maling untuk menangkapnya. Setiap tanda panah yang sudah dilewati harus disilang agar tidak dilewati lagi untuk yang kedua kalinya. Dan, bila sudah tertangkap maka kelompok maling harus berjaga dan menjadi kelompok polisi demikian berganti-ganti. Tetapi, bila kelompok polisi tidak berhasil menemukan kelompok maling dan menyatakan menyerah, maka permainan dapat diulang lagi dan kelompok maling dapat ngumpet lagi untuk kedua kalinya.
Kelompok maling bisa dikatakan menang secara gemilang, bila seluruh anggota kelompoknya dapat sampai di markas tanpa ketahuan oleh kelompok polisi. Teman-teman akan tertawa kegirangan bila dapat mempencundangi kelompok polisi.
Yang paling menantang kalau sedang jadi kelompok polisi. Coz, kita tertantang untuk mencari jejak di perempatan. Nah, sisitu kita harus nentuin dan menebak kemana kelompok maling itu bersembunyi. Apakah keutara, ketimur, keselatan atau kebarat ? Kita juga harus pintar-pintar mengatur strategi. Kalau saya pas ada di kelompok polisi. Malingnya harus tertangkap.
Di rumah saya dulu ketika kecil di Karangsari, Parakan, Temanggung, permainan maling-malingan ini disebut juga permainan panah-panahan karena harus menggambar tanda panah setiap jalan yang dilaluinya. Ketika sedang sembunyi kadang ada teman saya yang tertawa cekikikan sehingga jadi ketahuan tempat persembunyian kami.
Saat ini sudah tidak saya temui lagi anak-anak di daerah kakek saya itu yang memainkan maling-malingan yang cukup mengasyikkan ini. Gila....!!! Rasanya unforgetable dan seru abiezz permainan waktu kecil saya ini.
Good luck & have a nice game
16 Februari 2009
Pingsut dan Hompimpah
By : Kelik Supriyanto
Dalam permainan anak tradisional atau dolanan. Sebelum sebuah permainan berlangsung, terlebih dahulu dilakukan undian untuk menentukan siapa yang berhak mulai bermain. Sistem yang digunakan yaitu Pingsut dan Hompimpah. Kedua sistem ini digunakan untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang, hanya dengan menggunakan jari dan telapak tangan kita.
Pingsut yaitu dengan cara mengadu jari kedua pemain berdasarkan simbol setiap jari kita. Aturannya bahwa jempol merupakan simbol gajah. Jari telunjuk simbol manusia. Kelingking simbol semut. Semut akan kalah oleh manusia. Manusia kalah oleh gajah. Gajah kalah oleh semut karena menurut cerita kalau gajah dimasuki telinganya oleh semut maka gajah tersebut dapat gila atau bahkan bisa mati. Pasti karena gajah nggak punya jari, sehingga tidak bisa mengeluarkan semut yang masuk ke kupingnya, ya ? Kasihan gajah. Jari kelingking kalah oleh jari telunjuk. Jari telunjuk kalah oleh jempol. Jempol kalah oleh kelingking.
Gajah yang besar bisa kalah oleh semut yang kecil memberikan pelajaran bahwa sesuatu yang besar dan tidak tertandingi justru bisa dikalahkan oleh sesuatu yang kecil dan diremehkan. Makanya kalau sudah jadi orang besar dan terkenal jangan meremehkan orang kecil.
Peraturannya, jari manis dan jari tengah tidak boleh dimunculkan. Apabila terlanjur dikeluarkan maka dianggap tidak sah, demikian juga kalau dua jari yang ditampilkan juga dianggap tidak sah alias harus diulang. Menggunakan tangan kiri juga tidak sah karena dianggap tidak sopan, atau menyalahi aturan permainan.
Menurut teman dari Lombok, dia menggunakan istilah gunting untuk jari telunjuk dan jari tengah. Kertas untuk tangan terbuka lebar, dan batu untuk tangan mengepal. Kertas kalah oleh gunting, gunting kalah oleh batu dan batu kalah oleh kertas. Batu dapat dibungkus oleh kertas. Dan, gunting dilempar batu akan patah. Kertas dapat dipotong oleh gunting.
Hompimpah yaitu cara undian dengan memperlihatkan seluruh telapak tangan kita secara bersama-sama. Untuk pemenang apakah yang tengadah atau yang telungkup dilakukan dengan cara hompimpah secara bersama-sama. Setelah dihitung, yang paling sedikit dianggap sebagai pemenang, apakah yang telungkup atau yang tengadah tangannya. Kalau ternyata yang telungkup lebih sedikit maka tangan telungkup dinyatakan pemenang dan yang tengadah langsung kalah dan keluar dari arena. Kalau sekali main ternyata yang telungkup kebawah ada beberapa anak, maka hompimpah dilakukan terus sampai hanya ada satu anak pemenangnya. Biasanya kalau tinggal dua anak maka dia akan pingsut saja.
Kalau dalam alam demokrasi kita terutama sistem voting, yang banyaklah yang menang. Sedang dalam dunia permainan anak, yang sedikitlah yang dinyatakan menang dan berhak untuk menentukan aturan permainannya. Ini barangkali sebuah suri tauladan sejak dini bagi anak untuk bisa menghargai kelompok minoritas. Yang jumlahnya kecil dan tertindas oleh hegemoni mayoritas, seharusnya diberi hak untuk bersuara terlebih dahulu.
Ketika sedang pingsut maupun hompimpah, bila ada teman kita yang curang dengan melambatkan mengeluarkan tangannya agar tahu pilihan teman yang lain dan diprotes, maka undian harus diulang sampai benar-benar semua tangan pemain dikeluarkan secara bersamaan. Maka, undian dinyatakan adil, dan tidak perlu melibatkan Mahkamah Konstitusi segala.
Hompimpah alaihom gambreng
Mak Ijah pakai baju rombeng.....
Hompimpah alaihom gambreng
Kuda lari di atas genteng......
Dalam permainan anak tradisional atau dolanan. Sebelum sebuah permainan berlangsung, terlebih dahulu dilakukan undian untuk menentukan siapa yang berhak mulai bermain. Sistem yang digunakan yaitu Pingsut dan Hompimpah. Kedua sistem ini digunakan untuk menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang, hanya dengan menggunakan jari dan telapak tangan kita.
Pingsut yaitu dengan cara mengadu jari kedua pemain berdasarkan simbol setiap jari kita. Aturannya bahwa jempol merupakan simbol gajah. Jari telunjuk simbol manusia. Kelingking simbol semut. Semut akan kalah oleh manusia. Manusia kalah oleh gajah. Gajah kalah oleh semut karena menurut cerita kalau gajah dimasuki telinganya oleh semut maka gajah tersebut dapat gila atau bahkan bisa mati. Pasti karena gajah nggak punya jari, sehingga tidak bisa mengeluarkan semut yang masuk ke kupingnya, ya ? Kasihan gajah. Jari kelingking kalah oleh jari telunjuk. Jari telunjuk kalah oleh jempol. Jempol kalah oleh kelingking.
Gajah yang besar bisa kalah oleh semut yang kecil memberikan pelajaran bahwa sesuatu yang besar dan tidak tertandingi justru bisa dikalahkan oleh sesuatu yang kecil dan diremehkan. Makanya kalau sudah jadi orang besar dan terkenal jangan meremehkan orang kecil.
Peraturannya, jari manis dan jari tengah tidak boleh dimunculkan. Apabila terlanjur dikeluarkan maka dianggap tidak sah, demikian juga kalau dua jari yang ditampilkan juga dianggap tidak sah alias harus diulang. Menggunakan tangan kiri juga tidak sah karena dianggap tidak sopan, atau menyalahi aturan permainan.
Menurut teman dari Lombok, dia menggunakan istilah gunting untuk jari telunjuk dan jari tengah. Kertas untuk tangan terbuka lebar, dan batu untuk tangan mengepal. Kertas kalah oleh gunting, gunting kalah oleh batu dan batu kalah oleh kertas. Batu dapat dibungkus oleh kertas. Dan, gunting dilempar batu akan patah. Kertas dapat dipotong oleh gunting.
Hompimpah yaitu cara undian dengan memperlihatkan seluruh telapak tangan kita secara bersama-sama. Untuk pemenang apakah yang tengadah atau yang telungkup dilakukan dengan cara hompimpah secara bersama-sama. Setelah dihitung, yang paling sedikit dianggap sebagai pemenang, apakah yang telungkup atau yang tengadah tangannya. Kalau ternyata yang telungkup lebih sedikit maka tangan telungkup dinyatakan pemenang dan yang tengadah langsung kalah dan keluar dari arena. Kalau sekali main ternyata yang telungkup kebawah ada beberapa anak, maka hompimpah dilakukan terus sampai hanya ada satu anak pemenangnya. Biasanya kalau tinggal dua anak maka dia akan pingsut saja.
Kalau dalam alam demokrasi kita terutama sistem voting, yang banyaklah yang menang. Sedang dalam dunia permainan anak, yang sedikitlah yang dinyatakan menang dan berhak untuk menentukan aturan permainannya. Ini barangkali sebuah suri tauladan sejak dini bagi anak untuk bisa menghargai kelompok minoritas. Yang jumlahnya kecil dan tertindas oleh hegemoni mayoritas, seharusnya diberi hak untuk bersuara terlebih dahulu.
Ketika sedang pingsut maupun hompimpah, bila ada teman kita yang curang dengan melambatkan mengeluarkan tangannya agar tahu pilihan teman yang lain dan diprotes, maka undian harus diulang sampai benar-benar semua tangan pemain dikeluarkan secara bersamaan. Maka, undian dinyatakan adil, dan tidak perlu melibatkan Mahkamah Konstitusi segala.
Hompimpah alaihom gambreng
Mak Ijah pakai baju rombeng.....
Hompimpah alaihom gambreng
Kuda lari di atas genteng......
11 Februari 2009
Dolanan Anak dan Politisi Kita
By : Kelik Supriyanto
Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta yang berkapasitas 1200 penonton itu pada malam Rabu, 10 Pebruari 2009, penuh dengan orang-orang dewasa dan keluarga. Mereka sedang menonton pagelaran musik teater bertajuk Bocah Gugat, sebuah repertoar bermain dan bercermin dari dolanan anak tradisional yang mulai langka. Disini penonton diajak untuk belajar dari dolanan dan lagu anak tradisional yang sudah ditinggalkan oleh generasi anak jaman sekarang.
Lagu cublak-cublak suweng menggema di ruangan yang berAC itu. Beberapa anak kecil pada memainkan dolanan tradisional seperti jamuran, ular-ularan, dan engklek berkelompok. Diikuti oleh orang dewasa yang pingin juga bermain dolanan anak, anak-anak kecil itu berkerumun menontonnya. Sebagai gambaran bahwa lagu dan permainan anak tradisional itu sebenarnya milik mereka yang dewasa yang saat kanak-kanaknya memainkan permainan tersebut saat bulan purnama tiba. Sedang anak-anak yang lahir sekarang tidak mengalami saat-saat indah itu, mereka hanya mengenal permainan yang berbau teknologi seperti saat ini.
Selain menggabungkan musik tradional dan musik modern, pertunjukan ini juga memanfaatkan layar proyektor untuk menampilkan gambar kartun yang lucu berupa prosesi pemilu mulai kampanye sampai saat pencoblosan. Untuk mengkaitkan hubungan antara dolanan anak dengan peristiwa politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Permainan diawali dengan menampilkan kursi yang diperebutkan oleh para pemain dolanan anak ini. Menyimbolkan bahwa sekarang sedang pada berebut kursi kekuasaan. Seperti para politisi kita yang sedang beramai-ramai ingin menjadi anggota dewan.
Lagu-lagu dolanan anak yang sudah jarang kita dengar ini dinyanyikan oleh anggota sanggar teater Adiluhung Tak diselingi celotehan-celotehan lucu yang cukup bisa memancing tawa penonton. Kelompok teater yang awalnya berdirinya merupakan siswa SMA Ibu Pawiyatan Taman Siswa Yogyakarta ini, sekarang cukup dikenal saat terpilih sebagai juara favorit dalam lomba musik kreatif Festival Kesenian Yogyakarta beberapa waktu yang lalu..
Dalam permainan Ketek Menek, setiap pemain akan berusaha mencari tempat yang tinggi agar tidak tertangkap oleh teman yang sedang jadi pengejar. "Kalau semua orang mencari tempat yang lebih tinggi atau mencari kedudukan semua, terus siapa yang mau dibawah. Siapa yang mau jadi rakyat kalau semua orang pada pingin berkuasa ?" teriak pemain senior menyindir.
Ketika anak-anak kecil sedang bermain, datanglah orang yang lebih dewasa sambil melarang anak-anak itu bermain Yoyo. "Anak-anak tidak boleh bermain Yoyo," ujarnya. "Lho, memangnya kenapa ?" tanya salah satu anak. "Main Yoyo khan permainan yang naik turun naik turun. Itu hanya boleh dilakukan oleh bapak dan ibu saja."
Atau, ketika sedang memainkan Jamuran dan tiba saat memainkan kata "jamur bebek" semua pemain harus menirukan perilaku bebek. Berbondong-bondong para pemain menuju arah suara tadi. Ketika ada teriakan "pembangunan" maka semua bebek itu pada wek...wek...menuju ke arah suara itu. Dan, ketika terdengar kata "demokrasi", maka semua bebek pada menuju ke arah suara tersebut. Mereka sedang menyindir perilaku masyarakat yang suka membebek perilakunya.
Diakhir cerita. Sebagai renungan dipertanyakan, apakah memang semua yang berasal dari barat selalu lebih baik, sehingga permainan anak yang berjiwa ketimuran ini ditinggalkan. Atau, permainan anak saat ini sebenarnya sedang diamainkan oleh para politisi kita. Bukankah pesta demokrasi merupakan sebuah dolanan anak yang bermetamorfosis bentuknya menjadi permainan politik yang kekanak-kanakan ?
Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta yang berkapasitas 1200 penonton itu pada malam Rabu, 10 Pebruari 2009, penuh dengan orang-orang dewasa dan keluarga. Mereka sedang menonton pagelaran musik teater bertajuk Bocah Gugat, sebuah repertoar bermain dan bercermin dari dolanan anak tradisional yang mulai langka. Disini penonton diajak untuk belajar dari dolanan dan lagu anak tradisional yang sudah ditinggalkan oleh generasi anak jaman sekarang.
Lagu cublak-cublak suweng menggema di ruangan yang berAC itu. Beberapa anak kecil pada memainkan dolanan tradisional seperti jamuran, ular-ularan, dan engklek berkelompok. Diikuti oleh orang dewasa yang pingin juga bermain dolanan anak, anak-anak kecil itu berkerumun menontonnya. Sebagai gambaran bahwa lagu dan permainan anak tradisional itu sebenarnya milik mereka yang dewasa yang saat kanak-kanaknya memainkan permainan tersebut saat bulan purnama tiba. Sedang anak-anak yang lahir sekarang tidak mengalami saat-saat indah itu, mereka hanya mengenal permainan yang berbau teknologi seperti saat ini.
Selain menggabungkan musik tradional dan musik modern, pertunjukan ini juga memanfaatkan layar proyektor untuk menampilkan gambar kartun yang lucu berupa prosesi pemilu mulai kampanye sampai saat pencoblosan. Untuk mengkaitkan hubungan antara dolanan anak dengan peristiwa politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Permainan diawali dengan menampilkan kursi yang diperebutkan oleh para pemain dolanan anak ini. Menyimbolkan bahwa sekarang sedang pada berebut kursi kekuasaan. Seperti para politisi kita yang sedang beramai-ramai ingin menjadi anggota dewan.
Lagu-lagu dolanan anak yang sudah jarang kita dengar ini dinyanyikan oleh anggota sanggar teater Adiluhung Tak diselingi celotehan-celotehan lucu yang cukup bisa memancing tawa penonton. Kelompok teater yang awalnya berdirinya merupakan siswa SMA Ibu Pawiyatan Taman Siswa Yogyakarta ini, sekarang cukup dikenal saat terpilih sebagai juara favorit dalam lomba musik kreatif Festival Kesenian Yogyakarta beberapa waktu yang lalu..
Dalam permainan Ketek Menek, setiap pemain akan berusaha mencari tempat yang tinggi agar tidak tertangkap oleh teman yang sedang jadi pengejar. "Kalau semua orang mencari tempat yang lebih tinggi atau mencari kedudukan semua, terus siapa yang mau dibawah. Siapa yang mau jadi rakyat kalau semua orang pada pingin berkuasa ?" teriak pemain senior menyindir.
Ketika anak-anak kecil sedang bermain, datanglah orang yang lebih dewasa sambil melarang anak-anak itu bermain Yoyo. "Anak-anak tidak boleh bermain Yoyo," ujarnya. "Lho, memangnya kenapa ?" tanya salah satu anak. "Main Yoyo khan permainan yang naik turun naik turun. Itu hanya boleh dilakukan oleh bapak dan ibu saja."
Atau, ketika sedang memainkan Jamuran dan tiba saat memainkan kata "jamur bebek" semua pemain harus menirukan perilaku bebek. Berbondong-bondong para pemain menuju arah suara tadi. Ketika ada teriakan "pembangunan" maka semua bebek itu pada wek...wek...menuju ke arah suara itu. Dan, ketika terdengar kata "demokrasi", maka semua bebek pada menuju ke arah suara tersebut. Mereka sedang menyindir perilaku masyarakat yang suka membebek perilakunya.
Diakhir cerita. Sebagai renungan dipertanyakan, apakah memang semua yang berasal dari barat selalu lebih baik, sehingga permainan anak yang berjiwa ketimuran ini ditinggalkan. Atau, permainan anak saat ini sebenarnya sedang diamainkan oleh para politisi kita. Bukankah pesta demokrasi merupakan sebuah dolanan anak yang bermetamorfosis bentuknya menjadi permainan politik yang kekanak-kanakan ?
Labels:
adiluhung tak,
bocah gugat,
lagu dolanan,
permainan anak,
politisi
Tekongan
By : M. Sofwan Hadi
“Te”, dibaca layaknya pengucapan “tempe”. Permainan murah meriah—bahkan bisa dikatakan tak perlu mengeluarkan budget khusus—sekaligus membutuhkan keuletan dari para pemainnya. Selain itu, permainan ini pun melatih daya fisik para pemainnya. Sebab, sepanjang permainan permain harus berlari dan berkelit dengan cepat. Pemain yang mempunyai kemampuan berlari yang “Siip” sangat diperhitungkan. Permainan ini sudah terwariskan turun temurun di desa saya di Meger, Ceper, Klaten, Jawa Tengah, entah sejak kapan. Sistem permaian ini, tidak berbeda jauh dengan aturan permaian petak umpet yang sangat fenomenal di Indonesia. Hanya saja media permainannya yang lain.
Pertama, dibutuhkan pemain lebih dari dua orang (minimal dua orang), tanah lapang, dan pecahan genteng yang disebut dengan wingko—masing-masing pemain mempunyai satu wingko. Selanjutnya, membuat lingkaran di tanah sebagai pusat permainan. Permainan dimulai dengan cara nuju (masing-masing pemain melemparkan wingko ke arah lingkaran dengan jarak tertentu), untuk menentukan siapa yang akan menjadi penjaga. Pemain yang wingko-nya jatuh dengan jarak paling jauh dari lingkaran, dialah yang menjadi penjaga.
Kedua, saat sudah diperoleh siapa yang menjadi penjaga, sontak pemain lainnya langsung berlari mencari tempat persembunyian sembari penjaga menata wingko secara vertikal (ditumpuk) tepat di tengah lingkaran. Setelah selesai merapikan wingko yang berserakan, panjaga kemudian mencari pemain lainnya yang telah bersembunyi. Aturannya, bagi penjaga, ketika menemukan pemain yang bersembunyi, dia diwajibkan memekikan kata “Tekong” dan diikuti nama pemain yang ditemukan. Tidak selesai sampai di situ, penjaga harus menuju lingkaran tempat wingko ditumpuk dan disertai teriakan “Gong”, tanda telah menyentuh lingkaran.
Dan proses menuju lingkaran inilah yang menarik, penjaga harus berjibaku, saling sikut, dalam suatu perlombaan lari menuju lingkaran dengan pemain yang di”tekong”. Sebab, apabila penjaga belum menyentuh lingkaran pemain mempunyai kesempatan untuk meruntuhkan kembali tatanan wingko. Itu artinya penjaga harus menata ulang wingko, dan pemain yang di”tekong”mempunyai kesempatan untuk bersembunyi lagi. Dan pemain lainnya pun boleh meruntuhkan tatanan wingko untuk membebaskan pemain yang tertangkap sekaligus melanggengkan pekerjaan si penjaga. Untuk itu, penjaga harus mengamankan tatanan wingko supaya tidak “dihancurkan” pemain lainnya.
Dalam suatu permainan, sudah lazim seorang pemain menjadi penjaga “abadi”. Hal ini disebabkan penjaga tidak dapat menemukan semua pemain. Untuk itulah, dibutuhkan kemampuan fisik yang fit, ulet dan lari yang cepat. Dan tidak jarang permainan digelar berkali-kali, dan berhari-hari dengan penjaga yang sama. permainan akan selesai ketika penjaga telah menemukan semua pemain atawa si penjaga ngambek.
“Te”, dibaca layaknya pengucapan “tempe”. Permainan murah meriah—bahkan bisa dikatakan tak perlu mengeluarkan budget khusus—sekaligus membutuhkan keuletan dari para pemainnya. Selain itu, permainan ini pun melatih daya fisik para pemainnya. Sebab, sepanjang permainan permain harus berlari dan berkelit dengan cepat. Pemain yang mempunyai kemampuan berlari yang “Siip” sangat diperhitungkan. Permainan ini sudah terwariskan turun temurun di desa saya di Meger, Ceper, Klaten, Jawa Tengah, entah sejak kapan. Sistem permaian ini, tidak berbeda jauh dengan aturan permaian petak umpet yang sangat fenomenal di Indonesia. Hanya saja media permainannya yang lain.
Pertama, dibutuhkan pemain lebih dari dua orang (minimal dua orang), tanah lapang, dan pecahan genteng yang disebut dengan wingko—masing-masing pemain mempunyai satu wingko. Selanjutnya, membuat lingkaran di tanah sebagai pusat permainan. Permainan dimulai dengan cara nuju (masing-masing pemain melemparkan wingko ke arah lingkaran dengan jarak tertentu), untuk menentukan siapa yang akan menjadi penjaga. Pemain yang wingko-nya jatuh dengan jarak paling jauh dari lingkaran, dialah yang menjadi penjaga.
Kedua, saat sudah diperoleh siapa yang menjadi penjaga, sontak pemain lainnya langsung berlari mencari tempat persembunyian sembari penjaga menata wingko secara vertikal (ditumpuk) tepat di tengah lingkaran. Setelah selesai merapikan wingko yang berserakan, panjaga kemudian mencari pemain lainnya yang telah bersembunyi. Aturannya, bagi penjaga, ketika menemukan pemain yang bersembunyi, dia diwajibkan memekikan kata “Tekong” dan diikuti nama pemain yang ditemukan. Tidak selesai sampai di situ, penjaga harus menuju lingkaran tempat wingko ditumpuk dan disertai teriakan “Gong”, tanda telah menyentuh lingkaran.
Dan proses menuju lingkaran inilah yang menarik, penjaga harus berjibaku, saling sikut, dalam suatu perlombaan lari menuju lingkaran dengan pemain yang di”tekong”. Sebab, apabila penjaga belum menyentuh lingkaran pemain mempunyai kesempatan untuk meruntuhkan kembali tatanan wingko. Itu artinya penjaga harus menata ulang wingko, dan pemain yang di”tekong”mempunyai kesempatan untuk bersembunyi lagi. Dan pemain lainnya pun boleh meruntuhkan tatanan wingko untuk membebaskan pemain yang tertangkap sekaligus melanggengkan pekerjaan si penjaga. Untuk itu, penjaga harus mengamankan tatanan wingko supaya tidak “dihancurkan” pemain lainnya.
Dalam suatu permainan, sudah lazim seorang pemain menjadi penjaga “abadi”. Hal ini disebabkan penjaga tidak dapat menemukan semua pemain. Untuk itulah, dibutuhkan kemampuan fisik yang fit, ulet dan lari yang cepat. Dan tidak jarang permainan digelar berkali-kali, dan berhari-hari dengan penjaga yang sama. permainan akan selesai ketika penjaga telah menemukan semua pemain atawa si penjaga ngambek.
03 Februari 2009
Yoyo
By : Kelik Supriyanto
Wacana permainan anak rupanya sedang disukai oleh para politisi Indonesia. Gara-gara ucapan Megawati Soekarnoputri yang mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggapnya seperti bermain yoyo. "Naik-turun naik-turun. Dilempar kesana kemari. Kelihatannya indah tapi pada dasarnya tak menentu," ujar Ketua Umum PDI Perjuangan ini dalam Rapat Kerja Nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Solo, Jawa Tengah, 27 Januari 2009.
Ucapan Megawati ini langsung ditanggapi oleh Sutan Bathoegana. "Iya, tapi, permainan yoyo itu jauh lebih baik ketimbang Pemerintahan Megawati pada masa lalu yang saya umpamakan seperti permainan gasing. Kan yoyo naik turun, sedangkan gasing berputar-putar saja di tempat, malah melobangi tanah hingga rusak," ujar.Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR RI ini sengit.
Yoyo adalah permainan yang terdiri dari dua keping cakram yang berukuran sama dan dihubungkan dengan suatu sumbu. Tali tergulung ke dalam sumbu dan diujung yang lain diberi kaitan untuk dimasukkan ke jari tengah. Dengan melemparkannya maka tali akan terulur, bila seluruh tali sudah terjulur maka yoyo dapat kembali tergulung dan kembali ketangan.
Yoyo berasal dari Greece (negeri Yunani), sekitar 500 Sebelum Masehi. Yoyo pada awalnya terbuat dari kayu, logam, atau gerabah. Sudah menjadi kebiasaan, ketika seorang anak menuju dewasa ia akan mempersembahkan mainannya sewaktu masih muda kepada dewa. Sebuah jambangan dari periode ini menggambarkan seorang pemuda Yunani sedang memainkan permainan yoyo. Yoyo kuno ini sekarang masih tersimpan di Museum Nasional Athena.
Dalam catatan sejarah sekitar abad 16, para pemburu hewan dari Filipina biasa memanjat pohon dan mengikatkan tali ke batu sepanjang 20 feet untuk dilemparkan ke hewan buruan. Menurut Scientific American yang terbit tahun 1916, istilah yoyo berasal dari bahasa Filipina yang berarti "mari-mari" atau "ayo-ayo".
Membutuhkan ketrampilan untuk memainkan permainan yoyo ini. Dahulu saya perlu belajar ke teman yang mahir memainkannya, dan hanya teknik-teknik yang permainan sederhana saja yang bisa saya mainkan. Ada banyak variasi memainkan permainan ini.
Ada yang cukup dilempar ke bawah dan yoyo akan naik kembali ke tangan kita lagi, terus dilempar lagi. Bagi yang sudah jago ada yang dilempar mendatar, atau bahkan dilempar ke atas. Atau dilempar mendatar di permukaan tanah dan yoyo bisa kembali lagi ke tangan. Malah ada yang jahil dengan diarahkan atau dilemparkan ke anak-anak perempuan yang kebetulan menonton. Keasyikan permainan ini terletak seberapa mahir kita menunjukkan kebolehan kita sehingga membuat decak kagum teman-teman kita.
Seiring perkembangan waktu, permainan tradisional mulai surut. Anak-anak lebih menyukai permainan yang lebih modern semisal games komputer atau playstation. Atau pada ngumpul sama kakak-kakaknya didepan televisi pada memelototi sinetron. Malah anak-anak kecil sering terdengar menyanyikan lagu, "Kamu ketahuan pacaran lagi....Dengan dirinya, teman baikku...." Lagu cublak-cublak suweng sudah lenyap ditelan waktu.
Jaman memang sudah berubah.
Wacana permainan anak rupanya sedang disukai oleh para politisi Indonesia. Gara-gara ucapan Megawati Soekarnoputri yang mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggapnya seperti bermain yoyo. "Naik-turun naik-turun. Dilempar kesana kemari. Kelihatannya indah tapi pada dasarnya tak menentu," ujar Ketua Umum PDI Perjuangan ini dalam Rapat Kerja Nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Solo, Jawa Tengah, 27 Januari 2009.
Ucapan Megawati ini langsung ditanggapi oleh Sutan Bathoegana. "Iya, tapi, permainan yoyo itu jauh lebih baik ketimbang Pemerintahan Megawati pada masa lalu yang saya umpamakan seperti permainan gasing. Kan yoyo naik turun, sedangkan gasing berputar-putar saja di tempat, malah melobangi tanah hingga rusak," ujar.Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR RI ini sengit.
Yoyo adalah permainan yang terdiri dari dua keping cakram yang berukuran sama dan dihubungkan dengan suatu sumbu. Tali tergulung ke dalam sumbu dan diujung yang lain diberi kaitan untuk dimasukkan ke jari tengah. Dengan melemparkannya maka tali akan terulur, bila seluruh tali sudah terjulur maka yoyo dapat kembali tergulung dan kembali ketangan.
Yoyo berasal dari Greece (negeri Yunani), sekitar 500 Sebelum Masehi. Yoyo pada awalnya terbuat dari kayu, logam, atau gerabah. Sudah menjadi kebiasaan, ketika seorang anak menuju dewasa ia akan mempersembahkan mainannya sewaktu masih muda kepada dewa. Sebuah jambangan dari periode ini menggambarkan seorang pemuda Yunani sedang memainkan permainan yoyo. Yoyo kuno ini sekarang masih tersimpan di Museum Nasional Athena.
Dalam catatan sejarah sekitar abad 16, para pemburu hewan dari Filipina biasa memanjat pohon dan mengikatkan tali ke batu sepanjang 20 feet untuk dilemparkan ke hewan buruan. Menurut Scientific American yang terbit tahun 1916, istilah yoyo berasal dari bahasa Filipina yang berarti "mari-mari" atau "ayo-ayo".
Membutuhkan ketrampilan untuk memainkan permainan yoyo ini. Dahulu saya perlu belajar ke teman yang mahir memainkannya, dan hanya teknik-teknik yang permainan sederhana saja yang bisa saya mainkan. Ada banyak variasi memainkan permainan ini.
Ada yang cukup dilempar ke bawah dan yoyo akan naik kembali ke tangan kita lagi, terus dilempar lagi. Bagi yang sudah jago ada yang dilempar mendatar, atau bahkan dilempar ke atas. Atau dilempar mendatar di permukaan tanah dan yoyo bisa kembali lagi ke tangan. Malah ada yang jahil dengan diarahkan atau dilemparkan ke anak-anak perempuan yang kebetulan menonton. Keasyikan permainan ini terletak seberapa mahir kita menunjukkan kebolehan kita sehingga membuat decak kagum teman-teman kita.
Seiring perkembangan waktu, permainan tradisional mulai surut. Anak-anak lebih menyukai permainan yang lebih modern semisal games komputer atau playstation. Atau pada ngumpul sama kakak-kakaknya didepan televisi pada memelototi sinetron. Malah anak-anak kecil sering terdengar menyanyikan lagu, "Kamu ketahuan pacaran lagi....Dengan dirinya, teman baikku...." Lagu cublak-cublak suweng sudah lenyap ditelan waktu.
Jaman memang sudah berubah.
Langganan:
Postingan (Atom)