11 Februari 2009

Dolanan Anak dan Politisi Kita

By : Kelik Supriyanto

Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta yang berkapasitas 1200 penonton itu pada malam Rabu, 10 Pebruari 2009, penuh dengan orang-orang dewasa dan keluarga. Mereka sedang menonton pagelaran musik teater bertajuk Bocah Gugat, sebuah repertoar bermain dan bercermin dari dolanan anak tradisional yang mulai langka. Disini penonton diajak untuk belajar dari dolanan dan lagu anak tradisional yang sudah ditinggalkan oleh generasi anak jaman sekarang.

Lagu cublak-cublak suweng menggema di ruangan yang berAC itu. Beberapa anak kecil pada memainkan dolanan tradisional seperti jamuran, ular-ularan, dan engklek berkelompok. Diikuti oleh orang dewasa yang pingin juga bermain dolanan anak, anak-anak kecil itu berkerumun menontonnya. Sebagai gambaran bahwa lagu dan permainan anak tradisional itu sebenarnya milik mereka yang dewasa yang saat kanak-kanaknya memainkan permainan tersebut saat bulan purnama tiba. Sedang anak-anak yang lahir sekarang tidak mengalami saat-saat indah itu, mereka hanya mengenal permainan yang berbau teknologi seperti saat ini.

Selain menggabungkan musik tradional dan musik modern, pertunjukan ini juga memanfaatkan layar proyektor untuk menampilkan gambar kartun yang lucu berupa prosesi pemilu mulai kampanye sampai saat pencoblosan. Untuk mengkaitkan hubungan antara dolanan anak dengan peristiwa politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.

Permainan diawali dengan menampilkan kursi yang diperebutkan oleh para pemain dolanan anak ini. Menyimbolkan bahwa sekarang sedang pada berebut kursi kekuasaan. Seperti para politisi kita yang sedang beramai-ramai ingin menjadi anggota dewan.

Lagu-lagu dolanan anak yang sudah jarang kita dengar ini dinyanyikan oleh anggota sanggar teater Adiluhung Tak diselingi celotehan-celotehan lucu yang cukup bisa memancing tawa penonton. Kelompok teater yang awalnya berdirinya merupakan siswa SMA Ibu Pawiyatan Taman Siswa Yogyakarta ini, sekarang cukup dikenal saat terpilih sebagai juara favorit dalam lomba musik kreatif Festival Kesenian Yogyakarta beberapa waktu yang lalu..

Dalam permainan Ketek Menek, setiap pemain akan berusaha mencari tempat yang tinggi agar tidak tertangkap oleh teman yang sedang jadi pengejar. "Kalau semua orang mencari tempat yang lebih tinggi atau mencari kedudukan semua, terus siapa yang mau dibawah. Siapa yang mau jadi rakyat kalau semua orang pada pingin berkuasa ?" teriak pemain senior menyindir.

Ketika anak-anak kecil sedang bermain, datanglah orang yang lebih dewasa sambil melarang anak-anak itu bermain Yoyo. "Anak-anak tidak boleh bermain Yoyo," ujarnya. "Lho, memangnya kenapa ?" tanya salah satu anak. "Main Yoyo khan permainan yang naik turun naik turun. Itu hanya boleh dilakukan oleh bapak dan ibu saja."

Atau, ketika sedang memainkan Jamuran dan tiba saat memainkan kata "jamur bebek" semua pemain harus menirukan perilaku bebek. Berbondong-bondong para pemain menuju arah suara tadi. Ketika ada teriakan "pembangunan" maka semua bebek itu pada wek...wek...menuju ke arah suara itu. Dan, ketika terdengar kata "demokrasi", maka semua bebek pada menuju ke arah suara tersebut. Mereka sedang menyindir perilaku masyarakat yang suka membebek perilakunya.

Diakhir cerita. Sebagai renungan dipertanyakan, apakah memang semua yang berasal dari barat selalu lebih baik, sehingga permainan anak yang berjiwa ketimuran ini ditinggalkan. Atau, permainan anak saat ini sebenarnya sedang diamainkan oleh para politisi kita. Bukankah pesta demokrasi merupakan sebuah dolanan anak yang bermetamorfosis bentuknya menjadi permainan politik yang kekanak-kanakan ?