Waktu saya masih ingusan, Ini permainan paling kondang di kampung saya di Malang. Beberapa bocah, biasanya 3-5, berbaris bak pembalap di garis start. Lantas, ketika aba-aba dibunyikan semua berlari sembari menyorong ban dengan alat khusus. Masing-masing berusaha saling mendahului laiknya balap sungguhan. Rutenya keliling kampung, jalurnya bebas asalkan bisa sampai garis finish di lapangan kampung yang biasa kami sebut lambau. Kami menyebut permainan ini nge-ban.
Sebenarnya penyebutan ini asal saja. Boleh jadi karena memakai ban maka disebut nge-ban. Ada dua instrumen utama dalam permainan ini. Pertama, ban, biasanya ban bekas sepeda. Kedua, tongkat pengatur yang kami sebut cutik. Tongkat ini terbuat dari bekas gagang sapu, atau bisa juga dari pilahan bambu. Salah satu ujung tongkat dipasang penyorong yang terbuat dari potongan wadah sabun colek. Cara memainkan permainan ini sederhana, mula-mula ban disorong dengan tangan. Sebelum ban berhenti berputar, disorong dengan cutik. Begitu seterusnya sampai garis finish. Untuk mengerem, tinggal membalik muka cutik ke arah dalam (berlawanan denga arah putaran ban).Cutik juga berguna untuk mengendalikan arah dan laju ban.
Jikalau ingin ikut perlombaan, teknik dasar saja tak cukup. Di tingkat mahir, sang pengeban (sebut saja begitu) mampu melakukan teknik-teknik mutakhir seperti ngawang (mengangkat ban sampai melayang sembari tetap berputar, biasanya teknik ini untuk menghindari halangan tanpa harus mengubah jalur), nggenjot (menambah laju ban dengan sangat cepat tanpa harus kehilanga kendali), dan beberapa teknik yang belum diberi nama. Bahkan di tingkatan para juara, sebenarnya ini cuma rumor dan omongan bocah yang ingin terlihat keren, kualitas ban, bentuk tongkat, kemiringan antara ban dan cutik menjadi penentu kecepatan laju. Namun, menurut Mamek, teman saya yang sering juara, kemenangan ditentukan kepandaian pengeban mencari jalur termudah ke garis finish. Sayang, saya sering jadi pecundang kalau ngeban. Maklum, saya kerepotan mengatur laju ban sembari mengelap ingus yang tak henti keluar.
Artinya, modal suthang panjang saja tidak cukup. Perlu ketrampilan memainkan cutik agar tidak lepas dari ban. Justru anak-anak yang tidak setinggi saya malah bisa mengalahkan saya dalam ngeban.