Wah, kalau harus mengingat masa kecil dulu, di Ngadirejo Temanggung sana. Saya sangat ingat dengan "Pitik Jengkol". Dolanan ini sangat sederhana. Jadi sangat mungkin ada di daerah lain dengan nama berbeda. Nggak tahu dari mana frasa nama dolanan ini berasal. Kok bisa-bisanya dinamai sesedap itu. Pitik itu ayam, Jengkol itu ya jengkol. Kalau ayam petok-petok, maka jengkol semrebel. Yang pertama bersuara, sedang yang kedua menghamburkan aroma. Barangkali itulah alasan penamaannya.
Begini lah permainannya, siapkan uba-rampenya, antara lain: lima atau lebih orang yang masih bernyawa dan sehat lahir batin (saya akui permainan ini tidak ramah pada kaum difabel dan rada-rada bias gender), seikat penutup mata (usahakan yang lebar), dan sepetak halaman atau ubin yang ditandai batas-luasnya dengan ukuran yang ditentukan berdasarkan konsensus bersama. Ingat, yang paling dijunjung tinggi dalam dolanan ini adalah kemampuan mendengus, mendengar, dan meraba.
Maka, dengan hukum hompipah, ditentukan dulu siapa yang, dalam istilah kami, "masang". Si masang inilah yang matanya diikat paksa dengan kain. Praktis, kini tinggal hidung, kulit dan telinganya saja yang bekerja--selain kaki tentu saja. Sisa orang yang masih lengkap panca inderanya, begitu...tiiit....langung jumpalitan ngalor ngidul, ngetan ngulon, menghindari si masang yang dengan radar nalurinya harus bisa mengejar satu saja mangsa. Nah, begitu cek...kecekel...masang dapat mangsa....masang harus cengkeram kuat-kuat si mangsa biar nggak kabur (baju sobek biasa, bagian dari sensasi permainan ini). Kalau mangsa sudah benar-benar tak berdaya, sambil berdoa, dia mesti sebisa mungkin menahan kegiatan ketubuhan seperti bernafas, bersuara, sampai kentut. Soalnya masang akan segera menerka, tentu dengan cara merabai dan mengendusi, si mangsa ini sebenarnya siapa. Celaka kalau sampai bau kentut saja dihafal, bakal konangan. Pokoknya persis ketemu vampir...Kehidupan, demi alasan apapun, tidak bisa tidak, untuk sejenak harus ditunda...biar identitas tak terterka.....
Kalau sampai sepuluh detik, masang nggak bisa menerka nama si mangsa atau sekali saja mengalami salah terka, loloslah mangsa. Jumpalitan lah lagi dia. Kalau sukses menerka nama, mangsa jadi masang yang baru..begitu seterusnya...
Saya jadi ingat dulu, kami memainkannya di pelataran musala. Singkat cerita, empat mangsa bersepakat untuk berkonspirasi. Begitu si masang buta, kami berempat secara perlahan dan piawai kabur sampai jarak sembunyi 20 meter. Selang sebentar, ta'mir musala datang, hendak menyapu pelataran yang sudah diguguri dedaunan itu. Celaka, si masang mendekat, mendekat, dan semakin mendekati Pak Ta'mir. Anehnya, Pak Ta'mir pasrah diam saja. Maka begitu jarak tinggal setengah meter, si masang melompat mantap dan menyergap pak Ta'mir yang kebetulan posturnya mungil itu. Keduanya ambruk seketika. Si masang mulai mendengus dan meraba. Ternyata wangi...identifikasi pertama gagal....lalu diraba hingga ke muka...kok ada kumisnya...si masang menggeragap. Kontan ia buka penutup mata...dan dalam sepersekian detik saja, gantian pak ta'mir yang mengejarnya seperti hewan buruan sambil gagang sapu siap ditimpukkan...kami terpingkal-pingkal
Kandungan moral permainan ini sungguh menggetarkan saya, terutama saat ini, ketika saya mulai merindukannya kembali